JAKARTA, KOMPAS.com — Skrining pada bayi baru lahir penting dilakukan untuk mendeteksi kelainan sedini mungkin. Skrining juga bertujuan secepatnya memberikan intervensi, baik berupa terapi maupun diet khusus, untuk mencegah kecacatan atau kematian bayi.
Salah satu skrining yang penting dan mempunyai dampak besar terhadap peningkatan kualitas anak Indonesia adalah mendeteksi kelainan hipotiroid kongenital. Menurut dr Indra Sugiarno, SpA, deteksi penyakit ini pada awal kehidupan seorang bayi penting artinya guna mencegah keterbelakangan mental. Bila gangguan ini tak ditemukan dan diatasi sejak dini, bisa berpengaruh pada tingkat kecerdasan anak nantinya.
"Ini akan menjadi anak yang idiot. Tetapi, kalau ditemukan sejak dini (dua minggu pertama sejak lahir), kita bisa obati. Dia akan bisa hidup normal, sama dengan anak-anak lain, terkait intelegensinya. Hipotiroid kongenital itu angka kejadiannya 1 : 3.000 kelahiran. Jadi, kalau ada 3.000 kelahiran, ada satu yang mengalami hipotiroid kongenital," papar Indra dalam seminar "Skrining Bayi Baru Lahir untuk Mencegah Keterbelakangan Mental", Rabu, (25/5/2011).
Hipotiroid kongenital, ujar Indra, disebabkan kurangnya hormon tiroid (hormon kelenjar gondok) sejak dalam kandungan. Bayi baru lahir umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas dari kelainan ini karena dalam kandungan bayi terlindungi oleh hormon tiroid ibu. "Penyakit ini bukan karena turunan, tetapi bisa karena kelainan bawaan sejak lahir," katanya.
Gejala penurunan kecerdasan atau retardasi mental akan sangat minimal bila hipotiroid kongenital diketahui dan diobati pada usia 14 hari pertama setelah lahir. "Kalau bisa, pemeriksaan cukup sekali. Dua minggu pertama periksa antara hari ke-3 sampai ke-14," ujarnya.
Ada beberapa gejala khusus yang tampak pada bayi penderita hipotiroid kongenital, seperti gangguan pertumbuhan, berat badan kurang, makroglosia (lidah besar), sakit kuning yang memanjang, pusar bodong, dan ubun-ubun yang telat menutup. Untuk pengobatannya, Indra mengatakan, apabila sudah terkena, konsumsi obat harus dilakukan setiap hari dan terus-menerus selama tiga tahun pertama.
"Setelah tiga tahun, dievaluasi ulang apakah memang jaring tiroidnya tidak terbentuk, atau ada tapi sedikit, atau sifatnya hanya sementara," jelasnya.
Lebih lanjut Indra menambahkan, pelaksanaan skrining hipotiroid kongential pada bayi baru lahir saat ini sudah direkomendasikan di dua rumah sakit pemerintah, seperti Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Budihardja mengungkapkan, berdasarkan telaah rekam medis tahun 1995 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung terhadap 134 anak, lebih dari 70 persen penderita didiagnosis setelah umur 1 tahun, dan hanya 2,3 persen di bawah 3 bulan. Akibat penyakit ini adalah gangguan pertumbuhan dan mental terbelakang pada penderita.
"Kunci keberhasilan pengobatan anak yang menderita gangguan hipotiroid kongenital adalah deteksi dini dan pengobatan sebelum berumur 1-3 bulan, yang secara kasatmata sulit diketahui," ungkapnya.
Di sebagian besar negara di dunia, skrining hipotiroid pada bayi baru lahir sudah dilakukan secara rutin. Di Amerika dan Eropa dilakukan sejak 1974, Hongkong sejak 1978, dan Inggris sejak 1982. Sementara untuk negara-negara ASEAN, Singapura memulainya sejak 1982, Malaysia sejak 1991, disusul Thailand dan Philipina masing-masing pada tahun 1992 dan 1996.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.