Bandung, Kompas.com - Penderita gangguan jiwa seringkali mendapatkan diskriminasi dan stigma negatif di masyarakat sebagai orang yang tidak waras atau gila. Media juga kerap memberitakan atau menyiarkan secara vulgar dan tidak menghormati hak-hak privasi seseorang.
"Di media sering digambarkan orang dengan masalah kejiwaan atau yang menderita skizofrenia secara salah, seperti menyebut mereka sebagai orang gila. Dalam media penyiaran televisi mereka sering digambarkan sebagai pribadi yang kacau, berbahaya, dan perlu disingkirkan dari kehidupan sosial," kata dr.Kuntjoro Adi Purjanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan di Bandung, Jumat (9/9/11).
Ia menyoroti salah satu contoh pemberitaan kasus bunuh diri di media secara vulgar, baik gambar atau peristiwanya secara detail. "Padahal secara kejiwaan, pemberitaan dan penggambaran detail tentang peristiwa bunuh diri, baik motif maupun cara dan tempat melakukan bunuh diri, dapat memberi inspirasi seseorang untuk berbuat hal yang sama," ungkapnya.
Stigma negatif tentang pasien gangguan jiwa yang paling mudah ditemui sehari-hari, menurut dia adalah penggunaan istilah gila, sinting, saraf, edan, dan sebagainya. Kuntjoro menambahkan saat ini istilah untuk pasien gangguan jiwa adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan.
Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah pembentukan opini publik tentang sarana kesehatan jiwa, seperti rumah sakit jiwa dan yayasan yang menampung penderita gangguan jiwa.
"Tempat-tempat ini sering diceritakan atau divisualisasikan sebagai tempat yang anker, tempat penampungan orang-orang yang tidak berguna atau tempat penyiksaan orang-orang yang sakit jiwa," katanya.
Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007 menyebutkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk yang berumur lebih dari 15 tahun mencapai 11,6 persen (sekitar 19 juta penduduk), sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah 0,46 persen (kira-kira 1 juta penduduk).
Menurut dr.Pandu Setiawan, Sp.KJ, gangguan jiwa ditandai dengan adanya gangguan pikiran, perasaan, atau tingkah laku yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari (pekerjaan dan sosial).
Gangguan jiwa sebenarnya bisa dideteksi sejak dini dan dicegah. Kuncinya adalah kepekaan keluarga dalam melihat setiap perubahan terhadap anggota keluarga lain yang mungkin mengarah ke gangguan kesehatan jiwa.
"Setiap individu harus belajar tahap-tahap perubahan kepribadian seseorang. Kepekaan itu datang harus dari dalam diri masing-masing anggota keluarga," kata Pandu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.