KOMPAS.com - Berita di akhir tahun ini penuh dengan konflik dan kekerasan. Setelah kasus Mesuji maka selanjutnya adalah bentrokan di Bima. Kedua peristiwa ini menimbulkan korban jiwa dan sepertinya ada salah satu pihak yang disebut-sebut bertanggung jawab dalam hal ini.
Tulisan ini saya buat bukan untuk menelaah sisi kesehatan jiwa dari apa yang terjadi di kedua tempat di tanah air ini, tetapi lebih ingin menyoroti dampak peran media yang mampu menimbulkan opini publik dan menggugah rasa kepedulian yang kadang menurut saya mungkin kurang pada tempatnya.
Terus terang beberapa tahun belakangan ini media apalagi televisi telah menjadi sarana untuk mencapai popularitas dan bagian dari suatu pencitraan seseorang. Dulu media televisi adalah tempat untuk artis-artis layar gelas berwara-wiri, tetapi saat ini telah menjadi tempat para politisi, pejabat dan para pemimpin negara untuk saling berinteraksi bahkan berdebat di hadapan pemirsa. Era keterbukaan dan demokrasi memang sudah benar-benar merasuk di media Indonesia, tetapi apakah ini yang diharapkan?
Sudah beberapa bulan belakangan ini saya sudah mulai enggan menonton televisi. Apalagi jika isi acara talkshow yang isinya saling debat antara politisi dan komentator politik. Suatu peristiwa bisa dikomentari dari berbagai segi dan seringkali pula saya melihat tidak adanya kontrol dan kesadaran diri dari para pembicara itu. Semua merasa dirinya paling benar dan bahkan berkesan ingin menang sendiri. Pembawa acara kadang sengaja membiarkan bahkan seringkali berusaha menggiring para tamunya ke konflik perdebatan yang tak kunjung selesai bahkan sampai acara berakhir. Semua bukan mencari jalan keluar, hanya sibuk memperlihatkan dan menunjukkan kemauannya sendiri.
Begitupun tentang pemberitaan mengenai konflik yang benar-benar terjadi di masyarakat kita. Seringkali tampak sangat terbuka dan vulgar penggambarannya. Salah satu contohnya adalah adegan kekerasan antara para penegak hukum dan masyarakat begitu gamblang dipertontonkan. Itu masih ditambah dengan adegan kekerasan antara masyarakat sendiri yang sering terjadi salah satunya adalah tawuran warga.
Televisi yang bisa diakses siapa saja tanpa batas seringkali kehilangan unsur edukasinya dan lebih sering mempertontontkan pemberitaan sarat konflik. Mengapa demikian? Karena memang itulah yang disukai masyarakat yang terbiasa hidup dalam tekanan-tekanan represif sejak lama. Masyarakat yang senang nonton film action dan acara tarung seperti tinju sebagai salah satu cara melepaskan “agresivitas” bawah sadarnya. Masyarakat yang senang menonton konflik-konflik palsu yang disuguhkan tanpa rasionalitas di sinetron-sinetron Indonesia. Jadi memang pemberitaan tentang konflik memang menarik buat masyarakat. Itu seperti memberikan suguhan pada insting bawah sadarnya yang memang ternyata menyenangi hal-hal seperti ini. Suatu cara pelepasan konflik internal nir-sadar yang menemukan cara paling amannya dengan menonton orang berkonflik.
Lalu kalau kemudian hal ini terus dilakukan, maka sebenarnya kita tidak mampu keluar dari lingkaran setan yang mengkungkung kita tanpa sadar. Sebagian dari kita mulai sadar dan berpikir rasional dalam menilai segala konflik yang disuguhkan media ke hadapan kita. Tidak langsung menghakimi sepihak tetapi lebih mencoba mencari inti permasalahan. Sayangnya itu hanya punya segelintir manusia cerdas yang masih bisa berpikir rasional. Selebihnya akan terus “menikmati” sajian konflik yang kadang kala memang sering kali tidak berimbang penyampaiannya. Anda masih suka nonton TV kan ? Hati-hatilah kalau demikian.
Salam Sehat Jiwa
* Psikiater/Pengamat Kesehatan Jiwa
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.