Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/09/2012, 13:15 WIB

Kompas.com- Meski namanya mirip, artritis rematoid dan osteoartritis yang lebih dikenal sebagai rematik, adalah dua penyakit yang sangat berbeda. Osteoartritis umumnya diderita orang usia lanjut dan diakibatkan oleh ausnya persendian, sementara artritis rematoid adalah penyakit autoimun dan disebabkan peradangan sendi.

Peradangan pada sendi yang terkena bisa menimbulkan rasa nyeri, kaku, merah, dan bengkak. Berbeda dengan osteoartritis yang hanya menyerang sistem muskuloskeletal (otot, tulang, dan persendian), Artritis Rematoid (AR) adalah penyakit sistemik. Pada beberapa orang penyakit ini menyerang juga berbagai organ seperti jantung, paru, kulit, dan cenderung menyerang lebih dari satu persendian sehingga menimbulkan rasa kaku dan nyeri yang menyebar luas.

Salah satu ciri utama AR, menurut penjelasan Prof.Harry Isbagio, nyerinya simetris. Misalnya mengenai pada kedua pergelangan kaki atau pergelangan tangan. Juga dapat menimbulkan benjolan di bawah kulit, pada jari-jari, kaki, atau dekat siku.

"Waspadai jika bangun tidur terjadi kekakuan pada persendian lebih dari 30 menit dan berlangsung selama 6 minggu," kata Harry dalam acara media edukasi mengenai hasil penelitian Tocilizumab terhadap penyakit artrtitis yang diadakan oleh Roche di Jakarta beberapa waktu lalu.

Meski AR bisa menyerang semua usia, tetapi paling sering mengenai orang berusia antara 20-40 tahun dan jumlah penderita wanita tiga kali lebih banyak daripada penderita pria. Di Indonesia, diperkirakan 360.000 orang menderita penyakit ini.

Harry menjelaskan, ada lebih dari 100 jenis penyakit artritis, tetapi artritis rematoid adalah jenis artritis yang bisa menimbulkan kecacatan paling parah. "Jangan menganggap remah penyakit ini karena belum ada obat yang bisa menyembuhkan," imbuh ahli rematologi dari RSCM Jakarta ini.

Penderita AR sering mengalami deformasi sendi sehingga kehilangan mobilitas. Seperti yang dialami oleh Annie E.Siregar, pensiunan penyuluh tingkat nasional di Departemen Pertanian. Ia yang terbiasa aktif ini suatu hari tidak mampu bangkit dari tempat tidur karena rasa nyeri hebat di sekujur tubuhnya.

Selama dua bulan ia lumpuh di tempat tidur sampai akhirnya menemukan bahwa penyakit artritis rematoid-lah yang dideritanya. Meski telah mampu bangkit dari tempat tidur, namun Annie tetap merasakan nyeri dan kesulitan melakukan tugas sehari-hari.

Rasa nyeri yang sama juga dirasakan Faiqotul Himmah (23). Artritis rematoid membuat wanita yang akrab disapa Fika ini merasakan sakit di sendi-sendi tubuhnya, terutama saat naik turun tangga, berjalan jauh, atau mengerjakan sesuatu dengan jari-jari tangannya cukup lama.

Fika yang baru saja menikah ini sudah menjalani berbagai pengobatan tetapi nyerinya tetap tak hilang. Ia juga harus bolak-balik dari rumahnya di daerah Cikeas, Bogor, ke Surabaya untuk menjalani pengobatan.

Mengurangi peradangan

Walaupun artritis rematoid tidak bisa disembuhkan, tetapi dunia kedokteran berhasil menemukan obat-obatan untuk mencegah perburukan penyakit sehingga penderita dapat hidup senormal mungkin.

Obat-obatan untuk mengatasi AR dibagi dalam dua kategori, yakni yang menghilangkan nyeri, serta obat yang mengendalikan penyakit.

"Obat yang memodifikasi penyakit tujuannya adalah mengurangi peradangan sehingga nyerinya berkurang, kerusakan sendi bisa dihentikan, serta memperbaiki fungsi sendi," kata Harry.

Obat lain yang belakangan terus dikembangkan adalah obat biologis yang merupakan obat rekayasa genetika, salah satunya Tocilizumab. Obat ini bekerja dengan memblokir zat kimia yang berperan dalam peradangan dan kerusakan jaringan.

Keberhasilan obat tersebut sudah dibuktikan dalam studi klinis terhadap 4000 pasien di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Studi klinis lokal terapi Tocilizumab di Indonesia diberi nama PICTURE INA yang melibatkan 39 pasien.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau