Oleh : Brigitta Isworo Laksmi
Terserang batuk? Terserang pilek? Jika kita ke dokter bisa-bisa pulang membawa sekantong penuh obat. Obat untuk bermacam gejala mulai dari pilek, batuk, pusing, atau sakit kepala serta berbagai keluhan gangguan kesehatan lain. Dua hari kemudian, kita merasa segar lagi, merasa diri sembuh. Benarkah demikian?
Penelitian Yayasan Orangtua Peduli menemukan, pada praktiknya, banyak dokter justru mendorong penggunaan obat tidak rasional (irrational use of drugs/IRUD), bukannya mendorong praktik penggunaan obat secara rasional (rational use of medicine/RUM).
Dokter anak Wiyarni Pambudi dalam Seminar Smart Parents, Healthy Children, Happy Family di sekolah untuk Prasekolah Saraswati, Sabtu (26/1), mengatakan, ”Banyak resep yang ’gawat’.”
Resep-resep gawat tersebut tulisannya demikian sulit dibaca sehingga rawan salah baca. Jumlah obatnya banyak pula. Wiyarni mengingatkan, semua obat memiliki efek samping.
Ada beberapa jenis keluhan gangguan kesehatan yang bersifat self limiting. Artinya, gangguan kesehatan itu bisa sembuh hanya dengan daya tahan tubuh sendiri. ”Batuk, pilek, diare, dan luka ringan bersifat self limiting. Perlu waktu satu minggu hingga dua minggu untuk sembuh,” ujar Wiyarni.
Obat berfungsi ”topeng”
Pada praktiknya, banyak ditemukan bahwa obat yang diberikan sebagian di antaranya bukan berfungsi menyembuhkan penyakit, melainkan hanya berfungsi sebagai ”topeng”. Pasien terlihat sehat, padahal sebenarnya obat hanya ”menutupi” kondisi sebenarnya.
Misalnya, diberi steroid yang berfungsi sebagai doping. Karena minum steroid, pasien terlihat segar, padahal sebenarnya ia masih sakit. Hasil senada didapatkan jika pasien meminum antihistamin.
”Obat antialergi diberikan untuk pasien dengan keluhan batuk. Efek antihistamin adalah mengantuk. Alhasil, anak tampak tenang, tidak rewel.... Itu dikira sudah membaik, padahal belum,” tutur Wiyarni.
Sementara itu, bagi anak-anak, sakit batuk-pilek merupakan gangguan kesehatan paling sering. ”Sakit anak-anak sebenarnya merupakan mekanisme alamiah untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh mereka,” ungkapnya.
Sistem kekebalan tubuh bayi saat dalam rahim masih ikut sang ibu. Selain gangguan kesehatan, sistem kekebalan tubuh juga terbangun melalui pemberian air susu ibu (ASI). Menurut Nia Umar dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), sistem kekebalan tubuh anak yang mendapat ASI akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat ASI.
Pendorong RUM
Definisi penggunaan obat secara rasional (RUM), menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975, mencakup unsur-unsur: pasien mendapatkan pengobatan sesuai kebutuhan klinis, dosis obat yang diberikan sesuai kebutuhan setiap individu selama periode waktu yang tepat, dan harga murah.
Menurut Wiyarni, agar semua syarat tersebut terpenuhi, dokter harus memenuhi kewajibannya mengedukasi pasien. Pasien harus paham soal diagnosis (soal kondisi pasien saat itu), prognosis (kemungkinan yang bakal terjadi terkait penyakit pasien), serta menjelaskan soal terapi yang dilakukan.
Di sisi lain, pasien seharusnya mengetahui juga hak-haknya. Hak-hak terkait konsultasi dengan dokter, di antaranya hak mendapat informasi jelas mengenai indikasi penyakitnya, informasi terkait efek samping obat, informasi terkait cara kerja obat, dan hak untuk meminta obat generik yang murah.
Wiyarni yang menjabat Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara tersebut menegaskan, ”Pasien harus proaktif, mencari informasi untuk pencegahan salah obat. Yang punya bayi, misalnya, sebaiknya punya buku data obat.”
Yang pasti, RUM bertujuan untuk melindungi pasien dari pemberian obat berlebihan, kesalahan pengobatan, atau rendahnya upaya mengobati. ”Pada intinya, obat adalah racun,” ungkap Wiyarni. Banyak obat, belum tentu tepat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.