M Zaid Wahyudi
Saat kerusakan kornea sudah parah dan tak mungkin diatasi dengan cangkok kornea biasa, teknik osteo-odonto-keratoprostesis dapat menjadi jalan keluar. Teknik itu merupakan langkah terakhir untuk menghindari kebutaan akibat kerusakan kornea.
Osteo-odonto-keratoprostesis (OOKP) dikembangkan oleh dokter bedah mata asal Italia, Benedetto Strampelli, pada awal dekade 1960-an. Namun selama tiga dekade, penerapannya mengalami kegagalan. Sejak akhir 1990-an, teknik OOKP diperbaiki para ahli bedah mata Inggris dan Jerman. Di Asia, Singapura menjadi negara pertama yang mengembangkan teknik ini pada 2004.
Cangkok kornea biasa dilakukan dengan mengganti kornea rusak dengan kornea sehat dari donor. Penggantian dapat dilakukan pada seluruh lapisan kornea atau hanya mengganti lapisan kornea yang bermasalah. Penggantian sebagian kornea lebih menguntungkan karena mengurangi risiko penolakan oleh tubuh yang menjadi pemicu terbesar kegagalan cangkok kornea.
Direktur Medik Pusat Mata Nasional Singapura (Singapore National Eye Centre) Donald Tan akhir Februari lalu di Singapura mengatakan, OOKP dilakukan dengan menggunakan kornea buatan dari plastik yang disebut silinder optik. Fungsi silinder optik ini sama seperti kornea, yaitu melewatkan cahaya hingga jatuh tepat di retina.
Silinder optik diletakkan di permukaan bola mata ditopang lapisan gigi pasien. Penggunaan gigi di mata itulah yang membuat teknik ini disebut implan gigi di mata (tooth-in-eye).
”Gigi digunakan karena akar gigi dan tulang di sekitarnya merupakan satu-satunya media yang dapat memberi dukungan biologis terhadap silinder optik dan menempel di mata,” kata Tan yang juga Presiden Masyarakat Kornea (Cornea Society).
Selain untuk mengatasi kerusakan kornea dan penyakit permukaan mata yang parah, OOKP dapat digunakan untuk menerapi kerusakan kornea penderita sindrom Stevens Johnson (kumpulan gejala akibat sensitivitas berlebihan dari sistem kekebalan tubuh). Teknik ini juga dimanfaatkan untuk mengatasi kerusakan mata parah akibat terbakar, terkena bahan kimia, ataupun kegagalan berulang pencangkokan mata sebelumnya.
Teknik ini tidak dapat digunakan untuk mengatasi ancaman kebutaan jika kerusakan terjadi pada saraf optik atau retina (selaput jala) di belakang mata. Retina berfungsi mengubah cahaya jadi sinyal listrik untuk diteruskan ke otak lewat saraf optik. Di otak, cahaya yang ditangkap mata akan dipersepsikan.
Operasi OOKP dilakukan dua tahap. Jeda antara tahap pertama dan tahap kedua 3-4 bulan. Operasi di setiap tahap perlu waktu 4-8 jam, melibatkan dokter mata dan dokter gigi.
Pada tahap pertama, tindakan yang dilakukan adalah mengambil gigi pasien. Bagian yang diambil bukan hanya mahkota gigi, melainkan juga akar dan sebagian tulang rahang.
Gigi depan
Secara terpisah, dosen Divisi Infeksi dan Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Made Susiyanti mengatakan, yang digunakan adalah gigi bagian depan yang memiliki akar tunggal, seperti gigi taring (kaninus) atau gigi geraham kecil (pramolar).
Setelah diambil, gigi diasah hingga berbentuk lempengan segi empat. Di bagian tengah lempengan gigi dibuat lubang untuk memasukkan silinder optik. ”Silinder optik atau lensa direkatkan dengan lem khusus untuk mengoreksi penglihatan pasien saat dipasang di mata. Silinder optik awet sehingga tidak perlu diganti, kecuali terlepas,” kata Susiyanti.
Selanjutnya, lempengan gigi beserta silinder optiknya ditanam di dalam pipi bagian atas atau di bawah kelompok mata selama 3-4 bulan. Ini dimaksudkan agar lempengan gigi dilapisi jaringan mukosa (selaput lendir) di bawah mata dan menumbuhkan pembuluh darah baru yang rusak selama proses pemotongan gigi.