Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/10/2013, 16:38 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com 
— Rekaman video asusila yang diperankan sepasang siswa SMPN 4 Jakarta ditengarai sebagai bentuk rasa frustrasi anak. Tekanan beban kurikulum di sekolah ditambah minimnya tempat curhat yang tepat membuat anak melampiaskannya dalam bentuk yang kurang terpuji.

Hal tersebut diungkapkan pemerhati masalah anak, Seto Mulyadi, saat dihubungi Kompas Health, Selasa (29/10/2013) di Jakarta.

"Saat ini kurikulum kita hanya menekankan pada kepintaran dari sisi akademik. Sementara itu, faktor psikologi, emosi, dan sosial tidak lagi diperhatikan. Padahal, semua aspek harus seimbang untuk membentuk generasi muda yang lebih baik," katanya.

Padatnya kurikulum menyebabkan dinamika perkembangan anak kerap kali tidak disadari para pendidik. Padahal, kata Seto, dalam perkembangannya, tiap anak memiliki potensi, karakter, dan ketertarikan yang berbeda.

Sayangnya, kurikulum, yang menurut Seto tidak ramah anak, menuntut keseragaman sehingga rentan menimbulkan stres dan frustrasi.

Kurikulum saat ini, kata Seto, juga melupakan sisi moral. Akibatnya anak cenderung agresif yang ditunjukkan dalam bentuk yang tidak sama. Masyarakat mengenalnya dengan bentuk tawuran, geng motor, atau perilaku bullying.

Kondisi ini diperparah dengan tertutupnya jalur komunikasi antara orangtua dan anak. Akibatnya, untuk hal yang bersifat pribadi dan penting, misalnya seks, anak cenderung mencari dari sumber lain yang tidak dijamin kebenarannya.

Menghadapi kondisi ini, orangtua bersama pendidik harus menjadi tempat curahan hati (curhat) yang nyaman bagi anak. "Remaja penuh dengan rasa ingin tahu, salah satunya terhadap seks. Orangtua dan pendidik yang hangat memudahkan remaja mencari tahu sehingga tidak terdorong melakukan atau mencari tahu sendiri," terang Seto.

Untuk menjadi tempat curhat yang baik, orangtua dan pendidik harus mengasah kemampuan mendengar. Kemampuan mendengar yang baik, memastikan orangtua dan pendidik mengetahui hal terpendam dalam hati dan pikiran anak. Selanjutnya, orangtua dan pendidik bisa memberi pengarahan yang benar, termasuk untuk urusan seks.

Dengan kemampuan mendengar, orangtua dan pendidik bisa menjadi sahabat bagi anak. "Sahabat selalu lebih dihargai anak dibanding orangtua. Karena itu, anak dengan senang hati akan mengikuti pendapat atau keyakinan sahabatnya. Bila orangtua bisa berperan sebagai sahabat, maka kasus video porno bisa dicegah," ungkap Seto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau