Para peneliti mengikutsertakan 8.700 lelaki dengan tingkat hormon rendah dalam penelitian ini. Di antara para responden, 1.223 orang mendapatkan terapi testosteron untuk jangka waktu rata-rata dua tahun.
Tiga tahun kemudian, satu dari lima laki-laki yang tak mendapatkan terapi hormon mengalami serangan jantung, stroke, atau bahkan meninggal. Sementara di kelompok yang mendapatkan terapi hormon, risiko yang sama melonjak menjadi satu di antara empat responden, bahkan mendekati 30 persen.
Peneliti Anne Cappola dari University of Pennsylvania mengatakan peningkatan risiko dalam penelitian ini sangat penting untuk dicatat. Dia mengatakan para responden dalam kondisi yang cukup sehat saat program dimulai.
Para lelaki yang menerima terapi hormon, sebut Anne, rata-rata juga berusia lebih muda daripada responden yang tak mendapat terapi. Dia menyebutkan penerima terapi rata-rata berusia 61 tahun, sedangkan kelompok lelaki yang tak mendapat terapi rata-rata berusia 64 tahun.
"Temuan ini meningkatkan kekhawatiran tentang keamanan terapi testosteron," tulis para peneliti yang dipimpin Rebecca Vigan dari University of Texas, dalam laporan yang dipublikasikan dalam Journal of American Medical Association itu.Per tahun Rp 20 triliun
Meski demikian para peneliti menulis juga masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memetakan lebih spesifik potensi risiko yang dihadapi para lelaki tua yang mendapat terapi hormon. Termasuk untuk memetakan faktor risiko lain yang mungkin muncul.
Di Amerika Serikat, resep untuk terapi testosteron pada 2011 meningkat lima kali lipat dibandingkan pada 2000. Jumlahnya mencapai 5,3 juta resep, dengan nominal senilai 1,6 miliar dollar AS, atau hampir Rp 20 triliun.Selama ini terapi testosteron diresepkan untuk mereka yang memiliki "hormon lelaki" di bawah standar. Gejalanya mencakup dorongan seks yang berkurang, kurang tenaga, dan menurunnya ingatan. Namun, terapi hormon juga terbukti meningkatkan kepadatan tulang serta meningkatkan massa dan kekuatan otot, selain membantu masalah seks itu.
Karenanya, belum dapat dipastikan apakah peningkatan risiko kematian, serangan jantung, maupun stroke di antara pasien yang menjalani terapi hormon ini mengancam para lelaki yang memang menderita sindrom kekurangan hormon atau para lelaki muda yang menjalani terapi itu untuk meningkatkan performa fisik.