Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/11/2013, 16:23 WIB
Wardah Fajri

Penulis

Sumber BBC, AFP
KOMPAS.com — Penelitian menyebutkan depresi merupakan penyebab kecacatan terbesar kedua di dunia setelah sakit punggung.

Dalam jurnal PLOS Medicine, laporan para pakar menyebutkan, pengidap depresi harus segera mendapatkan terapi dan menjadi prioritas kesehatan masyarakat secara global.

Studi ini membandingkan depresi klinis dengan lebih dari 200 penyakit lainnya dan cedera sebagai sejumlah penyebab kecacatan.

Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyebutkan, secara global, hanya segelintir pasien yang memiliki akses terapi mengatasi depresi.

Sebagai penyebab cacat kedua di dunia, depresi memiliki dampak bervariasi di berbagai negara dan wilayah. Sebagai contoh, tingkat depresi berat paling tinggi di Afganistan dan terendah di Jepang. Di Inggris, depresi berada di peringkat ketiga dalam hal hidup bertahun-tahun dengan kecacatan.

Dr Alize Ferrari dari University of Queensland's School of Population Health memimpin studi ini.

"Depresi adalah masalah besar, dan kita perlu mulai memberikan perhatian lebih dibandingkan kondisi saat ini," ungkapnya kepada BBC News.

Menurutnya, masih banyak hal yang perlu dilakukan mengatasi depresi, mulai meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kondisi ini. Juga penting untuk menemukan terapi yang lebih efektif untuk mengatasinya.

Setiap negara memiliki beban yang berbeda terkait penyakit depresi ini. Pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah, bebannya lebih tinggi. Sementara pada negara berpendapatan tinggi, bebannya lebih rendah.

Ia menambahkan, pembuat kebijakan juga perlu mengupayakan agar penanganan depresi menjadi prioritas. Banyak hal yang masih perlu dilakukan.

Ferrari mengatakan, stigma juga masih menjadi penghambat penanganan depresi ini. Masih banyak stigma yang mengaitkan depresi dengan kesehatan mental.

"Apa yang seseorang sadari dari sesuatu yang melumpuhkan bisa berbeda dengan apa yang disadari orang lain, juga akan berbeda pemahamannya di berbagai negara karena ada banyak implikasi budaya dan interpretasi yang muncul. Karena itulah, penting untuk meningkatkan kesadaran mengenai besarnya masalah ini, juga mengenai tanda-tandanya, dan cara mendeteksinya," ungkap Ferrari.

Mengomentari studi ini, Dr Daniel Chisholm, ekonom kesehatan di departemen kesehatan mental dan kekerasan WHO, mengatakan, depresi merupakan kondisi yang sangat melumpuhkan.

"Ini adalah tantangan besar di kesehatan masyarakat dan masalah besar yang harus disadari, namun belum banyak yang sudah dilakukan. Di dunia, hanya sedikit orang yang mendapatkan terapi atau diagnosis," katanya.

Sebagai bentuk upaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai depresi, WHO baru-baru ini meluncurkan rencana aksi kesehatan masyarakat global untuk kalangan pembuat kebijakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau