Gas CO nerupakan hasil proses pembakaran yang tak sempurna akibat minimnya persediaan oksigen. Di lingkungan, gas CO bisa ditemukan pada asap hasil pembakaran bahan bakar fosil dan industri.
Mereka yang tidak merokok bukan berarti memiliki kadar CO rendah dalam tubuhnya. Hal itu dialami Elly Umi (57) dan Lily Sumatri (53) saat melakukan pengukuran kadar CO dalam tubuh, dalam rangka ulang tahun ke-50 RSUP Persahabatan, Jakarta.
Untuk mengukur kadar CO dalam tubuh, seseorang harus menahan nafas selama 10-15 detik. Udara tersebut kemudian dihembuskan dalam alat yang disebut carbon monoxide meter. Jumlah CO yang dihembuskan sebanding dengan CO yang berikatan dengan darah (COHb).
Makin tinggi CO maka COHb dalam tubuh semakin besar. Hal ini tentu berbahaya karena COHb menghalangi Hb mengikat dan menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh. Akibatnya seseorang dengan COHb tinggi mudah lemas karena kekurangan oksigen.
Elly dan Lily mengaku kaget dengan hasil yang didapat dari pemeriksaan. "Saya mungkin mau tes ulang. Lingkungan saya nggak ada yang merokok. Masa iya sampai segitu," kata Elly pada KOMPAS Health, Minggu (24/11/2013).
Kendati begitu, keduanya mengaku tinggal di rumah yang berdekatan dengan sumber polusi. Elly yang berdomisili di Pondok Kelapa, Jakarta Timur mengakui, rumahnya berhadapan dengan bengkel mobil. Jarak 4 meter ditambah tembok rumah yang cukup tinggi, ternyata tidak menjadi benteng ampuh menghalangi paparan CO yang berasal dari knalpot dan sejumlah aktivitas lain dalam bengkel tersebut.
Hal serupa disampaikan Lily yang bertempat tinggal di Duren Jaya, Bekasi Timur. Rumah yang tidak jauh dari pabrik, menyebabkan udara beraroma tidak enak kerap menerobos dinding rumahnya. Hal ini menyebabkannya kerap merasa tidak nyaman dan sering terbangun dari tidur.
Aroma ini kerap tercium pada pagi hari. "Tiap pagi harus bangun dan nyalain kipas angin supaya baunya pergi. Kalau sudah begitu saya tidak bisa tidur lagi," kata Lily yang bekerja di sebuah pabrik farmasi.
Menanggapi hal ini, ahli paru-paru dari RSUP Persahabatan dr. Agus Dwi Susanto Sp.P mengatakan, paparan polusi merupakan sumber utama CO selain asap rokok.
Masker ini, kata Agus, juga bukan masker sembarangan. Masker sebaiknya memiliki kerapatan N95-N100 yang bisa didapatkan di apotik. Walau tidak mencegah masuknya gas, namun kerapatan yang tinggi membentengi tubuh dari partikel polusi sampai yang paling kecil. Hal ini tentu bisa menekan risiko terpapar polusi, dibandingkan tidak menggunakan sama sekali.
Lebih lanjut Agus mengatakan, polusi udara menyumbang 5-15 ppm kadar CO dalam tubuh. Paparan ini juga tidak langsung menimbulkan dampak parah. Butuh waktu 10 tahun sebelum polutan menumpuk dan menyebabkan berbagai penyakit, misalnya infeksi dan kanker paru. Sedangkan penyebab yang langsung dirasakan biasanya meliputi batuk kering hingga berdahak.
Tentunya, masyarakat tidak perlu menunggu kadar CO memberi dampak negatif, sebelum melaksanakan upaya pencegahan. Elly misalnya, hendak mengukur kandungan CO sekali lagi untuk meyakinkan diri. Ia juga berencana mengabarkan hal ini kepada seluruh tetangga, dan membicarakan dampak yang diterima pada pemilik bengkel.
"Padahal saya tak merasa sesak, tapi ternyata kandungan CO sudah sampai 5 ppm. Kalau begini kasihan sekali cucu dan tetangga yang masih kecil," kata Elly.