Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/11/2013, 16:33 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com - Isu kriminalisasi dokter yang tengah menghangat kemungkinan memiliki akar permasalahan yang cukup klasik, yaitu ketidaktahuan masyarakat pada standar operasional prosedur (SOP) rumah sakit terkait tindak pelayanan kesehatan yang diberikan. Termasuk di antaranya tindakan dalam keadaan darurat dengan tingkat ketidakpastian tinggi.

Demikian dikatakan Wakil Menteri Kesehatan RI, Ali Ghufron Mukti, saat dihubungi KOMPAS Health, Rabu (27/11/2013), menanggapi kasus yang menimpa  beberapa orang dokter yang memicu polemik di kalangan tenaga kesehatan.

Menurut Ghufron, ketidakpahaman terhadap SOP membuat masyarakat mengira dokter melakukan malapraktik, karena proses pengobatan yang tidak berjalan sesuai harapan pasien.

"Padahal, jika pasien tahu kondisi yang tengah dihadapi dan tindakan apa yang tengah dijalani beserta risikonya, mungkin hal ini tidak terjadi," kata Ali.

Ketidaktahuan ini pula yang mengantar kasus dr. Ayu menempuh jalur hingga MA dan menunggu Peninjauan Kembali (PK), terkait kasus tersebut. Padahal, kata Ali, dunia kedokteran sudah memiliki wadah sendiri yang mengatur kompetensi dan kedisiplinan para anggotanya.

Tugas tersebut ada pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MK-DKI) dan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MK-EK). Keduanya merupakan bagian dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Masyarakat bisa memberi pengaduan terkait pelayanan dokter di bidang kesehatan pada badan yang bersifat otonom ini.

Selanjutnya MK-EK akan membentuk tim independen, untuk menangani pengaduan dari masyarakat. Tim inilah yang kemudian memberikan penilaian pada kinerja dokter yang bersangkutan. Tim ini pula yang bisa menentukan apakah dokter melakukan malapraktik yang mengganggu keselamatan pasien. Bila terbukti melakukan malapraktik, maka dokter yang bersangkutan akan menerima sanksi dari KKI.

Dengan cara ini sesungguhnya kasus tidak perlu berujung ke MA hingga terjadi kriminalisasi dokter. “Namun mau bagaimana lagi, masyarakat tidak tahu mekanisme atau peraturan ini. Ke depannya masyarakat harus tahu SOP yang berlaku di rumah sakit tersebut,” kata Ali.

Pemahaman tentang SOP, lanjutnya, dapat menjembatani ketidakseimbangan informasi antara pasien dan dokter. Dokter tentunya harus memberitahu SOP yang berlaku berikut risiko yang harus dihadapi. Namun, pasien juga harus mencari tahu tindak pemulihan dan pengobatan yang tengah diberikan dokter.

“Pengetahuan ini akan membuka wawasan masyarakat, apakah dokter melakukan malapraktik bila terjadi hal yang tidak diinginkan. Dalam prakteknya pasien tidak asal menerima tapi juga tahu apa yang tengah dilakukan dokter. Bila merasa tindakan dokter menyimpang dari SOP selanjutnya bisa lapor ke KKI,” kata Ali.

Pentingnya masyarakat memahami SOP rumah sakit juga diakui Sekertaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Daeng Muhammad Faqih. Menurutnya pengetahuan masyarakat akan membantu dokter mengambil tindakan, terutama terkait risiko yang harus dihadapi. Namun SOP yang begitu banyak tentu tidak bisa diberitahu secara detail kepada masyarakat.

“Kalau sudah begitu, maka masyarakat yang harus bertanya. Bertanyalah karena itu merupakan hak pasien. Sebaliknya dokter juga harus membuka diri untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pasien,” kata Daeng.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com