Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/11/2013, 11:12 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com — Kasus pidana yang menimpa beberapa dokter atas tuduhan malapraktik  merupakan cermin masih buruknya pola komunikasi antara dokter dan pasien di Indonesia.

Sebagai pihak yang saling membutuhkan, dokter seharusnya dapat menggali bagaimana sesungguhnya kondisi pasien. Hal yang sama juga harus dilakukan pasien dengan proaktif bertanya tentang kondisi dan pengobatan yang sebaiknya dijalani. Dengan kerja sama ini, kasus serupa mungkin dapat dihindari.

"Saya menduga mungkin kasus ini dikarenakan pola komunikasi yang buruk. Dokter kurang menggali informasi dari pasien akibatnya terjadi hal fatal usai operasi," kata pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, kepada KOMPAS Health, Selasa (26/11/2013) kemarin.

Buruknya komunikasi dokter diperkuat survei yang pernah dilakukan YLKI di Kota Medan dan Yogyakarta. Survei yang dilakukan pada 2008-2009 tersebut membuktikan, masyarakat merasa tidak mendapat info yang tepat terkait penyakit atau pengobatan dari dokter yang memeriksa. Akibatnya, pasien cenderung pasrah pada tindakan apa pun yang diambil dokter demi kesembuhan penyakit mereka.

Padahal, komunikasi, lanjut Tulus, menjadi kunci kesembuhan pasien. Hal ini karena kondisi dan jarak pengetahuan yang dimiliki antara dokter dan pasien. Pasien yang datang dalam kondisi lemah, kata Tulus, tidak memiliki pengetahuan sedikit pun pada apa yang terjadi dengan tubuhnya. Pasien juga nyaris pasrah pada pengobatan apa pun yang akan dilakukan dokter.

"Dalam kondisi inilah, posisi dokter nyaris seperti Tuhan. Pasien tidak mengetahui proses pengobatan dan semata berharap kesembuhan. Situasi ini bisa diatasi bila dokter mau aktif berbicara pada pasien sejak pertama kali berobat," kata Tulus.

Pola komunikasi, kata Tulus, sekaligus menjadi pembeda antara layanan dokter Indonesia dan luar negeri. Hal ini pula yang menyebabkan orang Indonesia lebih suka berobat ke luar negeri kendati kualitas pengobatan yang dimiliki sama.

Tulus mencontohkan Singapura sebagai salah negera tujuan pengobatan mayoritas orang Indonesia. Di negeri ini, setiap pasien yang datang akan mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya terkait penyakit yang diderita. Pasien juga mendapat info terkait pengobatan yang akan dijalani, termasuk risiko yang harus diterima. Hal ini dilakukan tanpa permintaan pasien.

"Pasien bahkan menerima info terkait peluang hidupnya. Hal inilah yang tidak terjadi pada kasus dr Ayu. Pasien tidak diberitahu dan pasif pada tindakan yang diambil. Akibatnya, terjadi kasus emergency yang harus segera ditangani dengan segala risikonya. Kasus emergency tentu tidak bisa dikatakan sebagai malapraktik," kata Tulus.


Pasif

Buruknya pola komunikasi para dokter juga diakui Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Daeng Muhammad Faqih. Menurut dia, dokter Indonesia memang kebanyakan pasif dan kurang mengomunikasikan penyakit serta pengobatan yang harus dijalani pasien. Pasien juga mayoritas tidak aktif bertanya terkait kondisi dan pengobatan yang dijalani.

Kondisi ini berlaku sama di seluruh tingkat layanan kesehatan. "Dokter Indonesia harus lebih banyak bicara. Dengan komunikasi, persepsi antara pasien dan dokter bisa disamakan sehingga pasien paham pada kondisi dan pengobatan yang dijalani, termasuk risiko yang ditanggung," kata Daeng.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau