Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/11/2013, 11:30 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com — Sosok dokter kerap diidentikkan dengan dewa penyembuh. Bagaimana tidak? Sakit yang menyiksa dapat dipulihkan bila pasien rajin berkonsultasi dan menjalani pengobatan sesuai yang disarankan oleh dokter.

Namun, sering kali proses ini terjadi tanpa pasien ikut proaktif dan mengetahui kondisi dan pengobatan yang diterimanya. Kondisi ini didukung dengan dokter yang cenderung sedikit bicara dengan pasien.

Akibatnya, anggapan bahwa kalau berobat ke dokter pasti sembuh terus terjadi dan semakin melekat. Namun, bila proses pengobatan tidak berlangsung seperti keinginan pasien, maka dokter dianggap melakukan kesalahan.

"Padahal, pergi ke dokter adalah upaya penyembuhan maksimal sesuai keahlian yang dimiliki. Dokter lebih berorientasi pada pelayanan medis, bukan hasil yang diperoleh," kata Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) dr Daeng Muhammad Faqih kepada KOMPAS Health, Selasa (26/11/2013).

Daeng menjelaskan, tidak semua upaya penyembuhan dokter berakhir dengan baik. Pada beberapa kasus, pasien tidak mengalami kesembuhan dan berujung cacat atau kematian.

Peluang untuk tidak sembuh, kata Daeng, tentu ada pada setiap penanganan kasus. "Persepsi ke dokter pasti sembuh harus diubah. Kesembuhan bagaimanapun bukan dokter yang menentukan. Meski begitu, setiap pasien yang datang harus ditangani bagaimanapun kondisinya," katanya.

Hal ini sesuai aturan dalam kode etik kedokteran, yang mengharuskan dokter menangani pasien walau angka ketidakpastian sembuh tinggi. Aturan ini sekaligus mengharuskan dokter memberikan kemampuan terbaiknya untuk menyelamatkan pasien. Dokter, kata Daeng, sebatas berupaya semaksimal mungkin tanpa bisa memberikan jaminan bagaimana akhir proses tersebut.

Berkaca dari kasus pidana yang menimpa beberapa dokter atas tuduhan malapraktik, Daeng mengatakan, hal ini bisa menimbulkan kegelisahan di kalangan dokter.

"Kalau begini dokter akan menangani kasus yang pasti saja. Kasus emergency, seperti yang terjadi pada dr Ayu, tidak akan ditangani karena belum diketahui akhirnya. Jika itu terjadi, tentu akan merugikan pasien," kata Daeng.

Terkait kasus tersebut, Daeng mengatakan, ada dua hal yang bisa dilakukan. Yang pertama adalah mengubah kebiasaan dokter yang pelit bicara. Pasien juga bisa membantu dengan rajin bertanya tentang penyakit dan penyembuhannya.

Yang kedua adalah adanya pengaturan standardisasi upaya penyembuhan. Dengan adanya aturan yang berlaku untuk semua instansi kesehatan, maka akan lebih mudah mengetahui bagaimana upaya penyembuhan sebaiknya dilakukan.

"Dengan aturan ini, maka lebih mudah diketahui tindakan seperti apa yang dikatakan malapraktik. Dalam kasus dr Ayu, yang dilakukan bukan malapraktik. Namun karena tidak ada aturan kualitas penyembuhan, maka tindakan tersebut disangka sebagai malapraktik," kata Daeng.

Ia menjelaskan, malapraktik terjadi jika dokter tidak melakukan upaya penyembuhan sesuai standar profesi. Hal ini bertentangan dengan kasus emergency pada dr Ayu, yang mengharuskan penanganan sesegera mungkin.

Adanya aturan baku diharapkan bisa membuka pemahaman masyarakat terkait tindakan yang tergolong malapraktik dan bukan. Dengan demikian, kasus serupa tidak kembali terulang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau