KOMPAS.com - Hipertensi atau tekanan darah tinggi berpotensi rugikan negara hingga Rp. 300 triliun dalam satu tahun. Hal ini diakibatkan banyaknya penyakit turunan yang dihasilkan, serta dampaknya yang tidak kecil bila dinilai secara ekonomi.
Kendati begitu, kerugian tersebut baru dihitung secara kasar. "Memang baru secara kasar, namun dalam hitungan sudah termasuk angka kerugian akibat kehilangan pekerjaan atau mati muda di usia produktif. Kerugian tersebut bisa menyebabkan kantong pemerintah jebol, apalagi dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2014," kata Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Hasbullah Thabrany, Rabu (8/1/2013) di Jakarta.
Besarnya kerugian yang ditimbulkan mengharuskan upaya promotif dan preventif mengambil peran. Dengan usaha tersebut, angka kerugian bisa ditekan sehingga tidak mencapai Rp. 300 trilyun.
Pentingnya promotif dan preventif juga diungkapkan Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kemenkes RI, Ekowati Rahajeng. Menurutnya usaha pencegahan harus digalakkan, terutama pada masyarakat pedesaan.
"Saat ini,
hipertensi lebih banyak di desa dibanding kota. Padahal setahu kita warga desa identik konsumsi sayur dan buah sehingga risiko hipertensi bisa lebih kecil," kata Ekowati yang tak menyebut perbandingan persentase penderita hipertensi desa dan kota.
Desa, kata dia, menjadi salah satu sasaran utama usaha promotif dan preventif di era JKN. Hal ini bercermin dari kasus penyakit tidak menular (PTM) yang mulai terdapat di pedesaan, salah satunya hipertensi. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, jumlah penderita hipertensi di Indonesia mencapai 25 persen dari jumlah total penduduk Indonesia.
Menurut Eko, perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi penyebab masyarakat pedesaan menderita hipertensi. Kata Eko, saat ini masyarakat pedesaan sangat suka mengkonsumsi dan menyimpan berbagai pangan olahan yang kaya garam, minyak, dan kolesterol. Bahkan, di pedesaan mulai sulit ditemukan sayur dan buah.
Peralihan inilah yang harus ditangani dengan upaya promotif dan preventif, sehingga penduduk desa terhindar dari hipertensi. Apalagi promotif dan preventif menjadi dasar pelaksanaan JKN 2014.
Terkait usaha ini Eko mengatakan, pihaknya baru meluncurkan program edukasi tentang hipertensi di puskesmas Bojong Gede dan Sindur, Bogor, Jawa Barat. Program yang dilakukan selama 1 tahun ini akan melatih tenaga kesehatan tentang bagaimana mengedukasi masyarakat mencegah hipertensi. Di dalamnya termasuk motivasi untuk mengubah gaya hidup, patologi hipertensi, dan prinsip pengaturan makan.
Libatkan masyarakat
Keterlibatan masyarakat yang meningkat menurut Kepala Pusat Promosi Kesehatan RI, Lily. S. Sulistyowati menjadi pembeda usaha promotif dan preventif di era JKN 2014. Keterlibatan ini didukung oleh dokter layanan kesehatan primer, yang membantu proses edukasi.
"Nantinya kita ingin satu puskesmas diisi lebih dari 1 dokter. Sehingga usaha pengobatan dan pencegahan bisa berjalan. Untuk pencegahan, para dokter akan masuk ke posyandu, posbindu, dan PKK tempat masyarakat berkumpul dan berorganisasi," kata Lily.
Usaha promotif dan preventif ini akan memuat tiga langkah besar pencegahan hipertensi yaitu lebih banyak beraktivitas fisik, pelarangan merokok, dan cukup konsumsi buah dan sayur. Nantinya, warga pedesaan bisa lebih mengerti asupan yang dikonsumsi, sehingga mencegah terjadinya hipertensi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.