Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/07/2014, 17:25 WIB

KOMPAS.com - Selama masa kampanye pilpres ini kedua kubu yang berhadap-hadapan saling perang kata-kata, terutama di media sosial. Suasana panas ini terus berlanjut, bahkan meski sudah memasuki bulan Ramadhan. Banyak orang menilai, aksi dukungan kepada para capres sudah melampaui batas kepatutan.

Melihat fenomena tersebut, dokter Andri, spesialis kesehatan jiwa dari RS Omni Alam Sutera, Tangerang, mengatakan antusiasme para pemilih capres menunjukkan harapan yang besar akan adanya kebaruan.

"Mereka menjawab itu dengan mencarinya dari para kandidat presiden. Karena capresnya hanya dua, maka saling berhadap-hadapan itu menjadikan pertandingan lebih seru dan melibatkan emosi pendukungnya," katanya.

Ia menilai penggunaan media sosial untuk ajang mempromosikan jagoan masing-masing kubu juga tidak diimbangi dengan kedewasaan para penggunanya. Dalam berbagai forum dan media sosial, banyak teman yang dikenal tiba-tiba menjadi pendukung fanatik seorang capres.

"Saya melihat sendiri banyak orang yang punya follower banyak ikut membuat posting yang menarik minat. Tapi isu-isu yang berkaitan dengan SARA juga banyak dibagikan, padahal sebagian besar masyarakat kita belum terbiasa dengan isu SARA," katanya.

Andri mengatakan, wajar jika banyak pendukung capres yang tidak rela jagoannya diberikan buruk. "Sudah begitu, apa yang ditulis itu dibaca banyak orang, jadi agak gengsi kalau ketahuan tidak mampu membela kandidat yang diserang kubu seberang," ujar dokter yang menjadi anggota dari American Psychosomatic Society ini.

Hal senada disampaikan psikolog Sani B.Hermawan. Menurutnya, banyak orang yang terlibat secara emosi dalam mendukung capres pilihannya.

"Jika capres pilihan kita dicela, akan timbul sakit hati. Ini lalu memicu kemarahan," ujarnya.

Andri menambahkan, seharusnya kita menggunakan pertimbangan yang sehat dan rasional dalam menilai calon pemimpin. Sikap kritis juga hendaknya kita miliki dalam menilai capres. Sikap ini juga seharusnya tidak berhenti setelah pemenang pilpres ditentukan.

"Seharusnya sikap kritis kepada para pemimpin jangan saat pemilu saja, tapi juga dalam keseharian kita nanti agar tercipta pemerintahan yang bersih," katanya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau