Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/08/2014, 14:58 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menegaskan, tidak ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang aborsi. Aturan yang terbit adalah Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Nafsiah menyampaikan hal itu menanggapi munculnya polemik tentang legalisasi aborsi yang dikaitkan PP No 61/2014. ”Harus ditegaskan, aborsi tetap dilarang. Itu pidana, kecuali untuk dua hal, yaitu aborsi karena kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan,” tuturnya dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (19/8/2014).

Menurut Nafsiah, PP No 61/2014 yang merupakan amanat dari Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan itu sudah lama ditunggu. Aturan pelaksanaan itu mengatur bagaimana agar perempuan mendapat layanan kesehatan sehingga bisa hidup sehat, melahirkan generasi sehat dan bermutu, serta mengurangi angka kematian ibu.

Dilihat dari konstruksinya, PP No 61/2014 terdiri dari 8 bab dan 52 pasal. Ada 9 pasal yang mengatur soal aborsi dengan indikasi kedaruratan medis atau aborsi pada korban pemerkosaan. Pasal terbanyak justru mengatur kesehatan ibu, yaitu 23 pasal.

Pelayanan kesehatan yang dimaksud termasuk pelayanan kesehatan reproduksi sedini mungkin, yakni sejak remaja. Pelayanan itu diberikan lewat layanan kesehatan reproduksi remaja, kesehatan masa pra-kehamilan, selama kehamilan, persalinan, pasca melahirkan, layanan kontrasepsi, kesehatan seksual, dan kesehatan sistem reproduksi.

Pasal yang mengatur tentang kesehatan ibu itu, menurut Nafsiah, justru paling penting dari PP No 61/2014; karena bergerak di hulu dengan menjamin perempuan mendapat layanan kesehatan yang baik. Upaya promosi dan preventif dijabarkan lebih rinci dalam pasal-pasalnya. Harapannya, itu bisa mencegah kehamilan tak diinginkan.

Menurut Nafsiah Mboi, PP No 61/2014 lahir dari semangat memberi hak kesehatan bagi perempuan. Sebab, perempuan korban pemerkosaan kerap menerima beban ganda, yakni sebagai korban kekerasan seksual dan harus menghidupi anak yang dilahirkan.

Belum lagi cercaan masyarakat kepada korban pemerkosaan. Ia harus menanggung beban ekonomi dan psikologis. ”Jangan sampai anak yang dikandung dibenci karena kehamilan tak diinginkan. Anak harus dikandung dengan cinta dan tanggung jawab,” ungkapnya.

Adapun klausul terkait aborsi ada pada Pasal 31 yang isinya menyatakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan. Aborsi atas dua alasan itu hanya bisa dilakukan pada usia kehamilan maksimal 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Penentuan aborsi dan pelaksanaannya diatur ketat dalam Pasal 32-38. Contohnya, penentuan indikasi medis ditentukan tim kelayakan aborsi, harus ada bukti indikasi pemerkosaan dari keterangan ahli, aborsi harus dengan persetujuan perempuan hamil, serta konseling sebelum dan sesudah aborsi.

Kepala Bagian Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes Sundoyo mengatakan, ketentuan usia kehamilan maksimal 40 hari merujuk pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi. Peraturan Menkes sebagai turunan PP No 61/2014 akan dikeluarkan September. (ADH/A03)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau