Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/09/2014, 10:02 WIB

KOMPAS.com — Tidak lagi makan nasi? Ini bukan diet ekstrem. Sudah banyak pelaku tak makan nasi bisa hidup tenteram, sehat, dan bugar. Itu dijalani bukan semata karena sakit berat.

Hampir setahun yang lalu, Lena (33) kerap didera sakit kepala luar biasa setiap menjelang menstruasi. Seluruh kepalanya terasa menegang hingga ke pangkal leher. Sisi kanan kepalanya terasa seperti dibor. Ia lalu memeriksakan diri ke dokter ginekologi. Setelah menjalani pemeriksaan, sang dokter mendiagnosis Lena mengalami semacam gangguan keseimbangan hormon. Dokter memintanya mencoba mengubah pola makan, yaitu mengurangi sebisa mungkin asupan karbohidrat, nasi, dan gula.

Saran dokter itu dia jalani dengan setengah tak percaya. ”Namun, ternyata setelah tiga bulan mengurangi nasi dan gula dan bulan keempat stop sama sekali, sakit saya benar-benar hilang. Bulan keempat terasa enak banget, mau mens enggak sakit sama sekali. Tenteram damai," ujar Lena.

Setelah menikmati kebugaran tubuh yang stabil, suatu saat Lena sempat makan lagi nasi sepiring. Beberapa hari kemudian menjelang mens, deraan sakit kepala menghunjam kembali dirasakannya. ”Saya ingat-ingat makan apa, ternyata jelas itu gara-gara nasi lagi,” ujar Lena.

Kini, pola makan Lena sehari-hari telah bebas nasi dan gula. Pagi, dia hanya sarapan bubur oat secukupnya dengan teh hangat tawar. Satu sampai dua jam kemudian, dia mengudap buah. Makan siang dan malam hanya sayuran dan lauk-pauk. Camilan di kala sore biasanya buah atau kacang almond. Lena yang banyak bekerja di lapangan ini pun rajin berjalan kaki. ”Selain enggak pusing lagi, saya malah lebih berenergi dan gampang ngantuk,” ujarnya.

Pola makan yang dijalani Lena tersebut sebenarnya telah lama menjadi saran hidup sehat yang sangat direkomendasikan oleh seorang dokter ahli gizi Tan Shot Yen. Dokter yang dikenal nyentrik ini amat tegas merekomendasi pasien-pasiennya untuk berhenti mengonsumsi nasi. Dr Tan bukan tanpa alasan. Bahkan, kepada orang yang merasa sehat-sehat saja, Tan menyarankan berhenti mengonsumsi nasi, gula, dan makanan berpati.

Simak saja di kliniknya di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten. Puluhan pasien baru biasanya dikumpulkan dalam satu ruangan dan diberikan semacam kuliah mengenai pola makan sehat.

Dokter yang Maret lalu menyelesaikan program doktoralnya di bidang gizi itu berpendirian bahwa pola makan bagaimana pun adalah ”obat” yang fundamental dalam menyembuhkan penyakit. Bukan berarti ia anti-obat. Namun, ia tak ingin pasien seumur hidup bergantung pada obat tanpa sudi mengubah gaya hidup melalui pola makan sehat.

Simak pengalaman Yulianti (39). Bulan Januari lalu, dia tersentak mengetahui dirinya ternyata terkena diabetes dengan gula darah tinggi mencapai 460 dan HbA1 bertengger di angka melampaui normal 9,7 persen. Yulianti yang menggemari jajan ini sempat berusaha mengubah pola makan dengan mengganti nasi menjadi nasi merah atau kentang. Namun, setelah beberapa bulan, tak ada perbaikan. Sampai akhirnya bertemu dengan dr Tan.

Dengan mengikuti anjuran dari dr Tan, Yulianti mengganti sumber karbohidratnya hanya dari sayuran mentah, seperti aneka selada, tomat, dan mentimun. Dia kemudian makan lauk-pauk sumber protein seperti biasa, terutama ikan dan ayam. Setelah tiga bulan, kondisinya jauh membaik, tanpa harus minum obat apa pun dan tanpa bantuan injeksi insulin.

Gula darah Yulianti turun menjadi 140 dan HbA1 turun dua poin di angka 7,1 persen. HbA1 amat penting diketahui untuk mengetahui kadar glukosa darah rata-rata dalam sel darah merah selama 2-3 bulan terakhir. Dr Tan mengumpamakan Hb1A semacam scoring board yang bisa memprediksi risiko terjadinya komplikasi penderita diabetes. Nilai kontrol HbA1 yang baik bagi penderita diabetes harus di bawah 6,5 persen.

Karbohidrat terbaik

Dr Tan menjelaskan, sumber pangan yang dibutuhkan manusia sebenarnya sederhana saja, yakni makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Mikronutrien adalah unsur mineral dan vitamin. Dalam hal karbohidrat, kita terbiasa mengenal sumbernya hanya beras atau nasi, roti, dan sumber berpati.

Namun, dr Tan menegaskan, sumber karbohidrat terbaik bagi manusia sebenarnya adalah sayur-sayuran mentah dan buah-buahan. Kita selama ini tak menyadari bahwa sayuran juga merupakan sumber karbohidrat, bahkan yang terbaik.

Sayuran memiliki indeks glikemik yang rendah, tidak terlalu cepat diubah menjadi gula darah dalam dua jam setelah makan, berserat, berkapasitas antioksidan tinggi, dan alkalis (tidak asam yang mempercepat perusakan organ tubuh). Oleh karena itu, dr Tan menyarankan pasiennya mengubah sumber karbohidratnya dengan sayuran segar saban hari setiap kali makan 200 gram dipadu dengan lauk-pauk tanpa digoreng. Sayuran mentah masih memiliki enzim hidup yang membuat tubuh tidak perlu boros enzim untuk mengolahnya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau