Aktris peran dan pembawa acara Olga Lydia (37), yang rutin berolahraga lari selama dua tahun terakhir, mengatakan tak ada persiapan khusus jika akan berlari, termasuk baju dan sepatu. Ia biasa berlari pagi di akhir pekan pada ajang hari tanpa kendaraan bermotor. ”Saya menghabiskan waktu 30-40 menit untuk lari sejauh 5 kilometer,” ujarnya.
Namun, karena aktivitas padat, ia tak berolahraga lari selama hampir sebulan terakhir. ”Badan jadi lebih fit dan fresh kalau berlari. Agak sayang juga beberapa waktu ini belum lari lagi. Mau ikut lomba Jakarta Marathon saja batal,” kata Olga.
Baam (25), karyawan swasta dan mahasiswa magister jurusan informatika sebuah universitas swasta, juga rajin berolahraga lari di kawasan Kemang dan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada sore atau malam. ”Selain keluarga senang olahraga, saya lari untuk refreshing setelah capek bekerja,” kata Baam, Sabtu (4/10) petang, saat ditemui seusai berlari.
Saat berlari, ia tak membawa terlalu banyak atribut. Hanya perangkat pakaian yang nyaman dikenakan, sepasang sepatu lari, dan perangkat untuk mendengarkan musik. ”Kalau sepatu dan pakaian, saya mementingkan kenyamanan,” katanya sambil menunjukkan pakaiannya.
Sore itu, ia mengenakan kaus oblong berlapis jaket berbahan parasut, celana pendek, dan sepatu lari. ”Untuk sepatu, saya pilih yang cocok di kaki. Karena kaki saya agak lebar, jadi pilih model agak lebar. Kalau enggak begitu, nanti sakit,” ucap Baam.
Sementara itu, Metty (23), karyawan sebuah perusahaan penjualan perangkat telekomunikasi, mulai membiasakan lari sejak bekerja. Pekerjaan di bidang keuangan menuntut Metty menghabiskan sembilan jam duduk di depan komputer.
”Rasanya badan jadi cepat lelah. Akhirnya saya coba lari. Biasanya lari pagi di GOR Ragunan sama Papa,” kata perempuan yang berdomisili di Ampera, Jakarta Selatan, itu. Saat berolahraga, ia mengenakan pakaian yang nyaman di tubuh dan sepatu yang cocok di kaki agar tak cepat pegal.
Merek bukan jaminan
Menurut fisioterapis dan praktisi lari Monica Kumalasari, kriteria menentukan sepatu lari adalah memperhatikan bentuk lekukan kaki. ”Sebelum memilih dan mencoba sepatu, kita harus tahu dulu bentuk lekukan kaki kita seperti apa,” ujarnya.
Karena itu, ia tak menyarankan membeli sepatu hanya berdasarkan merek dan model. Sebab, merek sepatu premium belum tentu cocok dengan semua jenis lekukan kaki. Orang yang telapak kakinya cenderung rata harus memilih sepatu dengan pijakan rata. Sebaliknya, orang dengan telapak kaki melengkung sebaiknya memilih sepatu dengan pijakan mengikuti lengkung kaki.
Ia memberi contoh pengalamannya membeli sepatu merek premium. Ketika sepatu itu dipakai, ia justru selalu merasa sakit di bagian kaki. Rasa nyeri itu baru berhenti ketika ia memakai sepatu merek lain.
Bukan sekadar rasa sakit, salah memilih sepatu juga bisa menyebabkan cedera, seperti cedera tumit dan pegal. ”Kalau pegal di kaki dibiarkan bisa menjalar hingga betis dan lutut, bahkan sampai pinggang. Untuk menyembuhkannya butuh waktu lama,” kata Monica.
Sementara itu, Denny Mayer, anggota komunitas lari Chubby Runners, yang setahun terakhir menekuni olahraga lari mengatakan, salah memilih sepatu bisa memicu cedera, seperti runner’s knee. Cedera itu menimbulkan rasa sakit seperti tertusuk pisau di bawah lutut. Cedera lain yang bisa timbul adalah sakit di tulang kering.
Selain pemilihan sepatu, gaya lari pun bisa menyebabkan cedera. Kepala Bidang Kesehatan Olahragawan Nasional Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Kesehatan Olahraga Nasional Kementerian Pemuda dan Olahraga I Nyoman Winata mengatakan, orang yang akan berolahraga lari sebaiknya lebih dulu memeriksakan kondisi kesehatannya.