Menurut sebuah studi di University of Pennsylvania yang dipublikasikan dalam jurnal Psychological Science, kebiasaan kita dalam menuliskan isi twit dapat dipakai sebagai prediksi risiko penyakit jantung koroner. Bahkan prediksinya lebih baik dibandingkan dengan gabungan faktor risiko merokok, diabetes, pendapatan, dan pendidikan.
Semakin negatif isi twit Anda, yakni bernada kemarahan dan kecemasan, maka makin besar pula risiko Anda menderita penyakit jantung koroner. Sementara orang yang sering nge-tweet bernada santai dan bahagia memiliki risiko lebih rendah terkena penyakit ini.
Johannes Eichstaedt, ketua peneliti, menjelaskan bahwa bukan Twitter itu sendiri yang meningkatkan faktor risiko penyakit jantung. Apalagi usia para pengguna Twitter biasanya masih muda dibanding dengan usia orang yang risikonya menderita penyakit jantung cukup besar. "Isi twit itu sendiri yang mewakili perasaan atau emosi kita, misalnya kemarahan, akan berdampak pada komunitas tertentu, " katanya.
Sudah banyak penelitian yang menyebutkan sifat pemarah terkait erat dengan penyakit jantung. Tentu saja orang yang tak bisa mengontrol emosinya, meledak-ledak, dan suka mengintimidasi orang lain, berdampak buruk. Emosi negatif tersebut akan meningkatkan hormon stres dan jantung berdetak lebih keras. Kalau sudah begini tekanan darah juga lebih mudah naik.
Di era teknologi informasi ini media sosial juga menjadi saluran penyampaian emosi. Termasuk kekecewaan dan kemarahan kita.
Media sosial memang kini mulai banyak dimanfaatkan untuk memprediksi risiko penyakit. Sebelumnya Twitter telah digunakan untuk melacak penyebaran flu dengan mengidentifikasi di mana percakapan terbanyak mengenai gejala-gejala flu.
Media sosial juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi komunitas yang sedang bermusuhan, dan emosi yang tergambar dari isi twit tersebut bisa menunjukkan risiko serangan jantung.
"Permusuhan dan kemarahan sangat mungkin menyebar daris atu orang ke orang yang lain, bahkan hal itu dapat terjadi di lingkungan yang senyaman apapun," katanya.
Karena emosi dapat menular, ia menyarankan untuk menjauhi komunitas di dunia maya yang bisa memancing emosi negatif. (Monica Erisanti)