Penelitian yang dilakukan di Indonesia, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Vietnam ini dilakukan oleh organisasi nonprofit Plan International dan ICRW (International Center for Research on Women).
Hasil laporan ini juga menunjukkan, 84 persen pelajar di Indonesia pernah mengalami kekerasan, sedangkan Pakistan memiliki angka terendah, yakni 43 persen. Secara keseluruhan, 7 dari 10 anak mengalami kekerasan, di mana 43 persen di antaranya tak melakukan apa pun saat melihat tindak kekerasan di sekolah.
Dalam laporannya yang bertajuk "Mempromosikan Kesetaraan dan Keselamatan di Sekolah" ini, juga dicatat berbagai kejadian kekerasan, termasuk kekerasan fisik dan seksual, kekerasan emosional, dan ancaman kekerasan, sebagai hal yang banyak ditemui di kelima negara yang disurvei.
Laporan itu memasukkan rekomendasi khusus, termasuk program berbasis sekolah untuk mengubah perilaku dan sikap terkait gender dan kekerasan, penyediaan layanan perlindungan, serta rekomendasi penerapan kebijakan dan aturan untuk menghapuskan kekerasan terhadap anak.
“Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan bekualitas, terbebas dari kekerasan dan ancaman kekerasan. Plan berkomitmen bekerja bersama para guru, pemerintah, orang tua dan pelajar agar rekomendasi laporan tersebut bisa terlaksana, serta mulai memastikan agar setiap orang tahu bahwa tak ada tempat bagi kekerasan di lingkungan sekolah, rumah, atau di manapun di mana anak-anak berada” kata Mark Pierce, Direktur Regional Asia, Plan International, dalam siaran pers yang diterima.
Senior Technical Specialist di ICRW, Nandita Bhatla mengatakan, laporan ini sangat penting karena mendokumentasikan berbagai cara dan sejauh mana anak-anak mengalami kekerasan, di negara-negara yang disurvei.
“Di luar hal yang bersifat fisik, anak-anak juga berbagi tentang penggunaan kata-kata yang mempermalukan, bahasa kekerasan, dan bentuk-bentuk emosional lain yang menjadikan sekolah tak lagi aman buat mereka,” kata Nandita.
Bahkan yang lebih buruk, anak-anak merasa tak memiliki orang dewasa untuk mengadu. Orang dewasa dianggap abai terhadap pengalaman kekerasan yang dimiliki anak. "Hal ini berdampak besar bagi kesehatan psikologis mereka," kata Nandita.
“Di berbagai kasus, kekerasan menjadi hal biasa, dan itu menjadi normal bagi anak-anak, di mana mereka tak melaporkan perilaku itu, dan tidak menganggapnya sebagai satu kesalahan. Siklus ini harus dihentikan,” kata Mark Pierce.
Penelitian ini dilakukan mulai tahun 2013 sampai 2014. Khusus di Indonesia penelitian yang dilakukan bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum fenomena kekerasan berbasis gender pada siswa, di 20 SMP di Jakarta dan 10 SMP di Serang, Banten.