Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/06/2015, 15:10 WIB

HANOI, KOMPAS — Dunia ditargetkan bebas dari penyebaran virus polio pada tahun 2020. Untuk itu, semua negara didorong untuk menarik vaksin oral polio dan menggantinya dengan vaksin polio tak aktif. Namun, upaya pencegahan penularan virus tersebut terkendala penolakan imunisasi oleh sejumlah komunitas di beberapa negara.

Hal itu mengemuka dalam diskusi polio dan vaksinasi yang diselenggarakan Pusat Akses Vaksin Internasional di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Irene Sarwindaningrum, dari Hanoi, Vietnam, Jumat (12/6). Diskusi menghadirkan ahli vaksin dan polio antara lain dari India, Filipina, Australia, dan Hongkong.

Sejumlah ahli kesehatan menemukan vaksin tetes oral polio berisiko menyebabkan polio jenis baru yang bisa mengakibatkan kelumpuhan. Oleh karena itu, vaksin oral polio perlu ditarik, digantikan dengan vaksin polio inaktif yang diberikan secara suntik. Kini, semua negara didorong mengganti vaksin itu.

Mantan Kepala Departemen Virus dan Anak-anak di Christian Medical College Vellore, India, T Jacob John mengatakan, pada tahun 2012-2014, jumlah kasus polio akibat penggunaan vaksin oral lebih tinggi daripada kasus polio karena penularan virus asli. Sejak 2010, ada 400 kasus polio akibat pemakaian vaksin. Adapun jumlah penderita polio karena penularan virus mencapai 223 kasus di lima negara pada 2012 dan ada 407 kasus di delapan negara pada 2013.

"Polio jenis baru ini merupakan polio sporadis karena virus aktif di dalam vaksin tetes mulut atau oral. Penyakit ini disebut kelumpuhan polio yang berasosiasi dengan vaksinasi (VAPP). Angka kasusnya 1-5 per 1 juta anak atau 200-400 kasus per tahun, lebih tinggi daripada jumlah kasus polio karena virus liar pada 2012 dan 2013," tuturnya.

Vaksin tetes oral polio (OPV) adalah vaksin polio yang digunakan di dunia. Adapun vaksin polio terbaru ialah vaksin polio inaktif (inactivated polio vaccine/IPV) yang diberikan dengan cara disuntikkan. Namun, harganya relatif mahal, 35-80 dollar AS atau setara dengan Rp 400.000 hingga Rp 1 juta per dosis.

Jadi ancaman

Kendati jumlah kasus polio amat kecil selama beberapa tahun terakhir, polio masih mengancam. Hingga 2013, penularan polio terjadi di negara-negara di Asia dan Afrika, seperti Pakistan, Nigeria, Somalia, Suriah, dan Irak. Karena tingkat penularan tinggi, selama kasus polio ada, semua negara terancam virus penyebab kelumpuhan dan kematian itu.

Jacob John mengatakan, dunia bebas polio ditargetkan tercapai 2020. Untuk itu, negara-negara diharap memperkenalkan IPV pada 2016 dan menarik vaksin oral polio secara total pada 2020. Itu penting sebagai langkah akhir pemberantasan polio. Pada pertemuan tersebut, Indonesia menyatakan siap mengganti vaksin oral secara bertahap.

Direktur IV Biro Pengembangan Sistem Kesehatan Lokal Departemen Kesehatan Filipina Enrique A Tayag mengatakan, Filipina mulai mengganti pemakaian virus oral dengan IPV. Penggantian ditargetkan dilakukan pada 2016 dan semua vaksin oral ditarik pada 2020.

Hingga kini, sejumlah komunitas menolak imunisasi. Penolakan antara lain terkait dengan ketidaktahuan, dianggap bertentangan dengan ajaran agama, dan tak sesuai budaya setempat.

Kondisi itu diperparah dengan munculnya gerakan anti vaksinasi di berbagai kawasan. Di Pakistan dan Nigeria, misalnya, pembunuhan para petugas pemberi vaksin polio pada 2012. Selain itu, vaksinasi polio dilarang Pemerintah Taliban dan Al-Shabab di Nigeria hingga kini.

Direktur Kebijakan, Advokasi, dan Komunikasi Internasional Pusat Akses Vaksin Internasional Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Lois Privor Dumm mengatakan, gerakan anti virus itu bermunculan justru dari masyarakat berpendidikan tinggi. Itu pernah ditemui di Amerika Serikat dan negara-negara lain. Gerakan itu umumnya didasari keyakinan vaksin dan imunisasi adalah bagian dari industri kesehatan yang berdampak buruk.

Meski relatif kecil, gerakan itu bisa membahayakan kekebalan suatu komunitas dari penyakit menular. Kian banyak anggota komunitas tak mendapat vaksin, makin besar kemungkinan penyakit itu kembali menyebar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau