Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Lawan Stigma untuk Dukung Penanggulangan TBC

KOMPAS.com – Stigma negatif masih menjadi salah satu penyebab keengganan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan tuberkulosis (TBC). Hal ini pun dapat memperburuk kondisi masyarakat yang ternyata menderita TBC.

Adanya stigma negatif, baik secara internal maupun eksternal juga menjadi penghambat pemenuhan hak pasien TBC dan penyintas TBC untuk mengakses layanan kesehatan.

Persoalan ini terungkap dalam seminar bertajuk Stigma TBC dan Hambatan Sosial Lainnya yang diselenggarakan secara daring oleh Stop TB Partnership Indonesia (STPI) bersama Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (POP TB) Indonesia dengan dukungan STOP TB Partnership Global pada Senin (14/6).

Stigma negatif menjadi tantangan bagi program TBC yaitu penemuan kasus yang belum mencapai 100 persen, bahkan menurun hampir setengahnya pada 2020 menjadi hanya 41 persen.

dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid, Direktur P2PML Kementerian Kesehatan RI, mengatakan dengan tegas bahwa sudah terdapat kerjasama antara Kemenkes dengan Kemenakertrans agar tidak terjadi stigma TBC di tempat kerja.

Dia berharap selama masa intensif, orang dengan TBC di tempat kerja dapat diberikan cuti khusus untuk menjalani pengobatan dan tidak dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan dalih takut akan penularan penyakit.

“Kurangnya informasi dan edukasi sangat berpengaruh terhadap hak-hak yang diterima pasien, khususnya di tempat kerja dan pada umumnya di tengah masyarakat,” ungkap Nadia saat hadir dalam seminar.

Dia menerangkan pemerintah memiliki enam strategi pembangunan kesehatan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 sebagai upaya mengeliminasi TBC pada 2030.

Enam strategi tersebut, yakni:

  1. Penguatan komitmen dan kepemimpinan baik pada pemerintah pusat dan daerah
  2. Peningkatan akses layanan TBC yang bermutu dan berpihak pada pasien
  3. Optimalisasi promosi dan pencegahan
  4. Memanfaatkan hasil teknologi
  5. Peningkatan peran komunitas, mitra, dan multisektor
  6. Peningkatan tata kelola program dalam kaitannya peningkatan sistem kesehatan

“Perlu peran keluarga, komunitas, dan lintas sektor untuk dapat mendukung dan menggerakan isu strategis penanggulangan TBC,” jelas Nadia.

dr. Imran Pambudi, MPHM selaku Manajer Program TBC Nasional, juga mengungkapkan bahwa sudah ada upaya yang dilakukan untuk mencoba mengurangi stigma negatif dan diskriminasi terhadap TBC.

Berbagai kegiatan strategis yang telah dilakukan di antaranya, yakni:

“Sudah ada pula dua pasal pada Rancangan Peraturan Presiden terkait TBC tentang stigma, yakni pada pasal 12, disebutkan setiap pasien TBC dalam menjalani pengobatan berhak mendapatkan perlindungan terhadap stigma dan diskriminasi terkait penyakitnya, dan pada pasal 13 disebutkan untuk menyediakan layanan TBC yang ramah dan berpihak pada kebutuhan pasien,” tutur dr. Imran.

Meski perlindungan pasien TBC sudah dinilai ideal termasuk di tempat kerja, dan sudah ada dalam berbagai kebijakan di Indonesia, penerapannya di lapangan dianggap masih perlu dievaluasi lagi.

Sebagaimana disampaikan oleh Meirinda Sebayang, perwakilan dari Dewan TBC Komunitas Stop TB Partnership Global.

“Kita sudah memiliki banyak kebijakan yang dapat digunakan sebagai tools untuk advokasi. Tapi, sebaik-baiknya kebijakan, apabila tidak ada pengawalan atau koridor yang memastikan kebijakan tersebut sesuai, tetap akan muncul kemungkinan terjadinya pelanggaran atau ketidaksesuaian dalam implementasinya,” kata dia.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI, Putih Sari, berharap bahwa pandemi Covid-19 agar tidak menjadi penghambat dalam penanggulangan TBC. Pemerintah dan pihak-pihak terkait bisa menumpangi penanganan pandemi untuk menanggulangi TBC di Indonesia.

Contoh stigma negatif pasien TBC

Stigma TBC dapat terjadi dari dalam diri pasien maupun dari lingkungan, termasuk di fasilitas kesehatan.

Seorang penyitas TBC, Ani Herna Sari, bercerita pernah mendapatkan perlakukan diskriminatif ketika akan melahirkan. Dia mengaku saat melahirkan ditanganai di ruang isolasi padahal sudah tidak dalam masa penularan TBC resisten obat.

“Saya ditangani di ruangan isolasi untuk mengobati paru-paru saya, bukan di tempat penanganan persalinan. Bayi saya yang baru berusia satu hari mengalami kepala rata di sebelah kanan karena harus minum susu dari botol yang disandarkan, tidak langsung menyusui ibunya,” tutur Ani dalam risil yang dikirim SPTI.

Ani menambahkan bahwa akses layanan TBC sebenarnya sudah tersedia secara gartis. Namun, menurut dia, tidak semua orang mengetahui hal itu sehingga perlu disosialisasikan lebih luas lagi.

https://health.kompas.com/read/2021/06/16/120400868/lawan-stigma-untuk-dukung-penanggulangan-tbc

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke