KOMPAS.com — Korban pelecehan seksual (sexual abuse), dengan anak-anak sebagai korban, terus berjatuhan. Kasus yang terungkap selalu merupakan puncak gunung es karena banyak kasus serupa tidak pernah terungkap.
Penangkapan Baekuni alias Babeh seperti menjadi alarm betapa kasus kekerasan seksual pada anak sebenarnya terus tumbuh subur di Indonesia. Selain membunuh secara keji para korbannya, Babeh juga memiliki kebiasaan menyodomi anak-anak sehingga ia diindikasikan mengalami kelainan seksual, yakni pedofilia.
Bagai musang melihat anak ayam, begitulah agaknya perilaku yang ditunjukkan penderita pedofilia saat melihat anak kecil. Penderita pedofil langsung merasa terangsang secara seksual saat melihat kehadiran anak-anak di sekelilingnya.
Bila diamati, pedofilia di Indonesia kerap identik dengan bentuk perilaku sodomi. Akan tetapi, kalau dilihat lebih jauh, sebenarnya berbeda. Dari sisi medis, pedofilia adalah sejenis kelainan psikologis di mana penderitanya tertarik melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak. Istilah pedofil berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata, yakni pedo (anak) dan filia (cinta).
Pedofilia sendiri merupakan salah satu dari 9 jenis kelainan seksual parafilia. Beberapa jenis parafilia lain adalah ekshibisionisme, fetihisme, frotteurisme, masokisme seksual, sadismeseksual, veyourisme atau fetihisme transvestik. Parafilia merupakan gangguan seksual yang ditandai oleh fantasi seksual khusus serta desakan dan praktik seksual yang kuat, biasanya berulang kali dan menakutkan bagi seseorang.
Susan Noelen Hoeksema dalam bukunya, Abnormal Psychology, menyebutkan, lebih dari 90 persen penderita parafilia adalah pria. Hal tersebut tampaknya berkaitan dengan penyebab parafilia yang meliputi pelampiasan dorongan agresif atau permusuhan, yang lebih mungkin terjadi pada pria ketimbang wanita.
Di atas 16 tahun
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mereka yang dapat dikategorikan penderita pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun, baik pria maupun wanita, sedangkan anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak prepubertas).
Sementara itu, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th Edition menyebutkan, diagnosis pedofil dapat ditegakkan dengan tiga kriteria, yakni:
1. Selama masa sedikitnya enam bulan terjadi rangsangan, dorongan yang berulang-ulang untuk melakukan seks dengan anak-anak (umumnya berusia 13 tahun atau lebih muda).
2. Seseorang berbuat atas dorongan seksual ini atau dorongan ini menimbukan tekanan atau gangguan kepribadian interpersonal.
3. Berusia sedikitnya 16 tahun atau setidaknya lima tahun lebih tua ketimbang anak pada kriteria 1.
Tipe pedofil dapat dibagi menjadi dua, yaitu tipe eksklusif dan noneksklusif. Pedofil eksklusif hanya tertarik pada anak-anak dan tidak merasa terangsang saat melihat orang dewasa atau teman seusianya. Pada beberapa kasus, tipe eksklusif bahkan bisa terangsang hanya dengan berfantasi membayangkan anak-anak di bawah umur. Sementara tipe noneksklusif dapat tertarik pada anak-anak maupun orang dewasa.
Aktivitas seks yang dilakukan penderita pedofilia bisa bervariasi, mulai dari bersenggama, menelanjangi anak, memamerkan tubuh kepada anak, masturbasi dengan anak hingga penetrasi pada mulut, vagina, atau anus dengan jari, benda asing, atau alat kelamin.
Hingga saat ini, belum diketahui penyebab pasti pedofilia. Namun, pedofilia sering kali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama orang dewasa atau adanya ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesama orang dewasa. Jadi, bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan kepada orang dewasa.
Reza Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik dari Universitas Bina Nusantara, menyatakan, ada sebuah penelitian yang menunjukkan, empat dari lima pelaku pedofilia telah mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak.
"Si pelaku menjelma dari individu kanak-kanak (korban) menjadi individu dewasa (pelaku) yang sama bejatnya akibat timbunan dendam, sakit hati, dan emosi-emosi negatif lainnya yang menumpuk di dalam psikisnya," katanya.
Anak-anak dengan latar belakang keluarga miskin, terutama anak-anak jalanan, sangat rentan menjadi mangsa empuk para pria yang mengidap kelainan seksual ini. Dengan iming-iming uang maupun berbagai pemberian dari sang pelaku, banyak anak terkecoh dan akhirnya jadi korban. Tak jarang korban terpaksa melayani hasrat pelaku karena mendapat ancaman.
Sayangnya, tidak mudah mengenali ciri pelaku pedofilia. Para pedofil berpenampilan biasa saja, bahkan tidak jarang penampilannya lembut, yang membuat anak-anak kecil tidak takut mendekati mereka. Tutur kata dan perilakunya juga disesuaikan dengan kebutuhannya untuk dapat berdekatan, sangat dekat sampai terpuaskan hasrat seksualnya.
Menurut psikolog Leila Budiman (Kompas, 18/1/2004), pelaku pedofilia biasanya adalah orang yang tidak mudah bergaul dengan orang dewasa, agak pemalu, dan sudah lama memerhatikan mangsanya. Ruang geraknya juga tidak terlalu jauh dari korbannya. Oleh karena itu, para orangtua sebaiknya mewaspadai orang dewasa di sekitar lingkungan anak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.