Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulitnya Meregulasi "Obat Latah"

Kompas.com - 25/02/2010, 08:54 WIB

Fenomena ”kontrak-mengontrak” industri farmasi-dokter sudah berlangsung lama. Namun, istilah industrio-medical complex baru pertama kali diungkapkan oleh Prof dr Iwan Darmansjah ketika ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Farmakologi di FK UI tahun 1983 sebagai otokritik terhadap profesi kedokteran (Kompas, 23/5/1983).

Tahun 1970-an hingga awal 1980-an praktik ”memberi imbalan” kepada para dokter lebih banyak dilakukan oleh industri farmasi asing. Namun, belakangan, industri farmasi swasta nasional—termasuk di Indonesia—makin ”pintar” dan lebih jago menghalalkan segala cara untuk merayu para dokter agar meresepkan ”obat-obat latah” produksi mereka.

Selama dekade 1980-an hingga awal 1990-an Kompas amat sering menurunkan berita di halaman 1 tentang mahalnya harga obat di Indonesia dan perlunya mengatur praktik peresepan obat oleh para dokter. Hasilnya, antara lain, sampel obat dilarang. Departemen Kesehatan (ketika itu) pun mulai memperkenalkan istilah ”obat generik” tahun 1984, disusul dibuatnya ketentuan resep dokter untuk pasien ”berkantong tipis” yang tak lain adalah daftar 80-an obat esensial.

Kekuasaan absolut

Selama sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih menganut fee for service (pasien harus membayar sendiri jasa dan produk kesehatan, termasuk obat)—belum berupa asuransi kesehatan—semuanya tidak akan menyelesaikan masalah secara mendasar. Hal itu berlangsung terus hingga kini.

Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/068/-I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah juga tak akan menyentuh masyarakat yang masih amat banyak berobat ke praktik dokter/rumah sakit swasta.

Kunci pengendalian harga obat dan kerasionalan peresepan obat di Indonesia adalah pada dokter yang terikat sumpah dokter/etika kedokteran. Industri farmasi adalah entitas bisnis, sehingga sulit mengharapkan mereka menjalankan praktik bisnis yang ”beretika” dan tidak melakukan penyuapan.

Obat resep (ethical drugs) adalah satu-satunya komoditas di dunia yang tidak memberikan kebebasan kepada konsumen/ pasien untuk memilih sendiri. Semuanya bergantung pada pena dokter. ”Kekuasaan absolut” inilah yang tak jarang disalahgunakan oleh sebagian dokter kita, yang sudah melupakan darma panggilannya sebagai ”penyelamat/pemelihara kehidupan”.

Jika ingin melakukan reformasi sektor dan sistem kesehatan nasional di Indonesia, resep dokter harus boleh diaudit. Tak ada salahnya Indonesia meniru cara Filipina yang pada masa pemerintahan Presiden Corazon Aquino mengeluarkan Undang Undang Generik (Generic Law). Peraturan itu mewajibkan para dokter menulis resep dengan nama generik/bahan aktif obat. Kebebasan memilih diserahkan ke konsumen dengan bimbingan petugas apotek. Awalnya para dokter protes (baca Prescription for Change, 1992).

Beranikah Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih melakukan terobosan ini? Tentu ia perlu meminta dukungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selama niat baik mengutamakan kepentingan pasien—seperti yang tersurat dalam sumpah dokter—tidak ada alasan bagi para dokter dan IDI menentangnya.

Irwan Julianto

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com