JAKARTA, KOMPAS.com - Komunikasi terpatahkan adalah komunikasi sepihak yang ditandai respons orang yang diajak berkomunikasi tidak membuka peluang bagi komunikan untuk melanjutkan pembicaraan. Komunikasi jenis ini membuat komunikan patah arang, serentak terdiam, padahal banyak hal yang masih akan dikomunikasikan dan didiskusikan.
Komunikasi terpatahkan ini sering terjadi pada pasangan suami-istri yang sudah mengalami penurunan respek pada pasangan, sementara pasangannya tidak tahu, tidak merasakan, bahkan mungkin saja tidak mau tahu kesalahan apa yang sudah dilakukan.
Penurunan respek istri terhadap pasangan atau sebaliknya bisa terjadi oleh berbagai sebab seperti:
- Harapan pasangan sebelum perkawinan tentang masa depan perkawinan tidak terpenuhi sehingga salah satu pasangan cenderung secara demonstratif menunjukkan kekesalan dengan melakukan perbuatan yang tidak disukai pasangannya,
- Tuntutan peranan terhadap masing-masing pasangan, apakah peran suami atau peran istri tidak terpenuhi, tetapi masing-masing atau salah satu pasangan enggan mendiskusikannya secara terbuka karena takut terjadi pertengkaran,
- Kehidupan sosial-ekonomi tidak stabil, yang bisa disebabkan pihak suami kurang mengambil peran dalam mencari nafkah keluarga atau tuntutan konvensional pihak istri yang tetap mengharapkan nafkah keluarga sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami,
- Suami masih bersikap sebagai kepala rumah tangga konvensional, sementara pihak istri, karena tingkat pendidikan yang sama, menuntut hak dan kewajiban yang sama, baik dalam urusan rumah tangga maupun urusan di luar rumah tangga,
- Kecemburuan salah satu pasangan yang berlebihan dan tidak sesuai kenyataan.
Situasi tersebut akan sering memicu pertengkaran di antara pasangan. Pertengkaran sering terjadi tanpa solusi yang jelas menyisakan kejengkelan, kemarahan tertahan, kebencian yang terakumulasi, kesedihan yang tertahan yang bisa saja membuat salah satu pasangan semakin tidak peduli dengan menunjukkan sikap ”acuh tak acuh, semau gue”. Sementara itu, pasangan yang lain tersiksa dan mencoba melarikan diri dengan menyibukkan diri pada hal-hal yang kurang penting.
Contoh komunikasi terpatahkan:
”Kemarin pulang malam, pasti jalan-jalan sama cewek, ya,” tanya istri dengan rasa cemburu.
Jawab suami : ”Memang, kamu mau apa” (dengan nada keras sambil membentak).
Jawaban yang mematahkan tersebut pasti membuat si istri terdiam, sedih bercampur marah yang tertahan. Padahal, sebetulnya keterlambatan pulang si suami disebabkan ban mobil pecah ditambah dengan kemacetan lalu lintas. Andaikan suami mengutarakan sebab keterlambatan dengan baik dan jujur, rasa marah, curiga, dan kesedihan istri yang tertahan tidak akan terakumulasi dengan kemarahan tertahan oleh masalah lain.
Contoh lain: ”Kehidupan seks kita rasanya kurang sehat, ya. Kenapa kita tidak mendiskusikannya atau kita konsultasi ke dokter, yuk,” ungkap suami.
Jawaban yang terpatahkan adalah: ”Apa sih, emang kamu lagi horni’ ya? Ayolah, cepat kita lakukan sekarang....”
Reaksi verbal istri semacam itu pasti akan membuat pihak suami terdiam. Bahkan, kalaupun masih tersisa ketertarikan erotik terhadap istri, komunikasi yang terpatahkan dari pihak istri tersebut akan mematikan gairahnya.
Andai kata istri berbalik tanya, ”Tidak sehatnya di mana, sih, Mas?” Maka, diskusi antarpasangan suami-istri tentang kehidupan seksual yang sehat akan terbuka peluangnya sehingga komunikasi tidak akan terpatahkan dan kekesalan tertahan pada pihak suami pun tidak terpupuk. Diskusi tentang masalah intim antarpasangan akan justru meningkatkan kadar ketertarikan erotik pada kedua belah pihak dan tidak tertutup kemungkinan kehidupan seksual di antara mereka membaik tanpa harus mencari pertolongan profesional.
Komunikasi terpatahkan yang berlanjut berbulan, bahkan bertahun, akan membawa kehidupan perkawinan menyengsarakan kedua pihak. Mereka akan merasa tidak aman, tidak nyaman, dan tidak sejahtera. Kedua pasangan hidup di dunia masing-masing walaupun tinggal seatap.
Motif dasar
Seseorang, apakah itu istri atau suami, yang tanpa sadar mengembangkan komunikasi terpatahkan, pada dasarnya memiliki satu motif dasar tertentu. Apa itu? Motif untuk menunjukkan kekuasaan (power motive) mereka. Mereka merasa memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan pasangannya, bisa karena mereka berasal dari keluarga besar yang lebih kaya, lebih berpendidikan, daripada pada umumnya keluarga pasangannya.
Biasanya mereka juga orang yang keras hati, tidak mau mengakui kesalahan diri, sulit meminta maaf, dan cenderung memaksakan kehendak. Mereka bertahan dalam perkawinan pun atas dasar sekadar reputasi sosial.
Solusi
Jalan tersederhana untuk mengatasi komunikasi terpatahkan adalah dengan introspeksi diri. Setiap pasangan menilai sejauh mana mereka masih bertahan memegang kekuasaan atas dasar latar belakang keluarga, kekayaan, pendidikan. Keuntungan apa yang dia peroleh dari kekuasaan tersebut.
Bertanyalah kepada diri, apa yang membuat kita tertarik kepada pasangan kita sebelum perkawinan dilangsungkan?
Akhirnya, yang perlu kita simak adalah tidak satu pun perkawinan di dunia ini yang sempurna. Kalaupun ada kekecewaan dari masalah yang kita hadapi dalam perkawinan, semua dapat kita selesaikan melalui komunikasi berlanjut dan terbuka dengan pasangan kita sambil menentukan aksi nyata bersama.
Sawitri Supardi Sadarjoen , Psikolog
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.