Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Separuh Hati buat Sumiati

Kompas.com - 26/11/2010, 03:19 WIB

Apa yang dialami Sumiati jelas tidak bisa diteropong hanya sebagai angka statistik. Walaupun jumlah TKI yang mengalami kekerasan relatif kecil dibandingkan dengan total jumlah TKI, hak asasi atas perlakuan layak tetap harus ditegakkan. Mereka bekerja ke luar negeri bukan untuk dipukuli atau dirampas kemerdekaannya. Mereka hanya ingin lepas dari kemiskinan akibat ketidakmampuan pemerintah menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja baru di dalam negeri.

Gagal

Pascakrisis ekonomi tahun 1999, lembaga jasa keuangan internasional menganjurkan Indonesia mengirim tenaga kerja ke luar negeri untuk mendapat remitansi guna mengurangi beban negara. Sejak itu, Indonesia terus mengirim tenaga kerja hingga kini sedikitnya 6 juta orang. Mereka telah mengirim remitansi ke Indonesia. Ironisnya, Indonesia gagal mengalihkan pengiriman pekerja informal ke sektor formal. Hampir 80 persen tenaga kerja Indonesia ke luar negeri menjadi PRT.

Status informal membuat mereka kerap menjadi korban keserakahan sponsor, pengusaha penempatan, dan birokrat. Para pemangku kepentingan semestinya menciptakan mekanisme rekrutmen bebas sponsor, pelatihan sesuai standar internasional, dan jaminan perlindungan di negara tujuan.

Sudah menjadi pengetahuan umum, sponsor berkeliling ke desa-desa mengiming-imingi calon TKI dengan gaji besar tanpa menginformasikan situasi sebenarnya. Sponsor memberi sekitar Rp 3 juta untuk keluarga yang ditinggalkan calon TKI. Banyak keluarga TKI terkesima dengan kemurahan hati sponsor. Mereka tidak tahu, agen akan memotong sebagian besar gaji TKI paling sedikit tujuh bulan untuk menutupi ongkos yang dipakai.

Saat ini, pemerintah menyediakan kredit usaha rakyat untuk mengatasi kesulitan permodalan TKI. Mennakertrans juga mencabut izin 22 pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) dan menskors tujuh PPTKIS yang melanggar aturan.

Persoalan lain yang tak kunjung tuntas adalah pelatihan TKI. Kemennakertrans mensyaratkan calon TKI wajib mengikuti pelatihan minimal 200 jam dan 100 jam bagi TKI yang sudah pernah bekerja di luar negeri. Materi pelatihan adalah bahasa negara tujuan, kompetensi kerja, pengetahuan budaya setempat, hingga perlindungan hukum apabila terjadi sesuatu.

Mereka lalu diuji di lembaga sertifikasi profesi (LSP) dan mendapat sertifikat kompetensi kerja jika lulus. Sekali lagi, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah membuat oknum LSP mendagangkan sertifikat asli tetapi palsu seharga Rp 70.000 per lembar, jauh di bawah biaya pelatihan komplet yang mencapai Rp 1,1 juta per orang.

Pembenahan rekrutmen dan pelatihan sebenarnya kunci menyiapkan TKI berkualitas. Pemerintah harus berhenti mengejar jumlah penempatan TKI yang sempat ditargetkan 1 juta orang per tahun demi menekan potensi permasalahan yang mengorbankan pekerja.

Pemerintah harus mau sepenuh hati membangun sistem perlindungan yang komprehensif bagi para pahlawan devisa. Jangan lagi separuh hati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com