Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Ujung Genteng hingga Dolly

Kompas.com - 27/07/2011, 08:18 WIB

Yulvianus Harjono

Di mata mereka, dedikasi tidak mengenal batasan. Mengabdi di daerah terpencil tanpa dukungan fasilitas yang laik atau mengobati wanita tunasusila di lokalisasi prostitusi bukanlah hambatan tugas sebagai bidan, melainkan peluang meningkatkan kesejahteraan warga melalui layanan kesehatan.

Salah satu dari mereka adalah Eulis Rosmiati (41). Dua dasawarsa sudah ia bertugas sebagai bidan desa di Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Sepanjang kariernya itu, Eulis bergelut dengan jalan dan sanitasi yang buruk, kemiskinan, dan angka kematian ibu melahirkan yang tinggi.

Eulis adalah satu-satunya bidan dan tenaga kesehatan yang ada di Pusat Kesehatan Desa (Puskesdes) Ujung Genteng, Kecamatan Ciracap, Sukabumi. Sesuai dengan namanya, wilayah pesisir ini berada di ujung selatan Sukabumi. Jarak desa ini dari puskesmas kecamatan terdekat 30 kilometer. Sementara jarak puskesdes tempatnya bertugas dengan rumah-rumah penduduk bisa 10-20 kilometer.

Satu-satunya sarana transportasi di sana adalah ojek. Namun, tarifnya tidak murah. Untuk bolak-balik ke puskesmas di Ciracap dibutuhkan ongkos Rp 50.000, sementara untuk ke puskesdes Rp 15.000-Rp 25.000. Pada malam hari, tarifnya bisa lebih mahal.

Tidak heran, warga umumnya enggan datang ke puskesmas dan puskesdes atau ke rumah Eulis sekalipun itu untuk persalinan.

Kondisi jalan berbatu ditambah jaringan listrik dan sinyal telepon seluler yang sulit—bahkan nyaris tidak ada—membuat tenaga-tenaga kesehatan, khususnya para dokter PTT (tidak tetap), sering masuk-keluar karena tidak betah. ”Saat ini saja kosong, belum ada pengganti baru (dokter PTT),” ujar Eulis di sela-sela penganugerahan penghargaan kesehatan Sang Teladan, 15 Juli, di Jakarta.

Eulis merupakan salah satu dari enam praktisi bidang kesehatan di Tanah Air yang dianggap berdedikasi dan punya jiwa keteladanan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di sekitarnya. Seleksi penganugerahan oleh produsen obat Decolgen itu diikuti 857 nomine se-Indonesia.

Karena keterbatasan tenaga medis di desanya, Eulis harus bekerja ”borongan” sebagai bidan sekaligus dokter dan penyuluh kesehatan lingkungan di desa berpenduduk 4.438 jiwa itu.

Rumah singgah persalinan

Berbagai keterbatasan dan tantangan tidak membuat Eulis patah arang. Sebaliknya, itu justru memaksa dia berpikir kreatif membuat berbagai terobosan bidang kesehatan yang berbasis kemandirian warga. Salah satunya mendirikan rumah-rumah singgah persalinan.

Rumah singgah persalinan adalah suatu ide pemberdayaan rumah warga di dusun-dusun terpencil untuk dijadikan tempat persalinan yang layak. Rumah yang dipilih adalah yang berada di tempat strategis, yaitu pinggir jalan, serta berfasilitas penerangan dan air bersih.

”Warga sukarela memperbolehkan satu kamar di rumahnya dijadikan ruang khusus persalinan. Jika ada ibu yang mau melahirkan, ia tinggal menghubungi ketua RT, RW, atau ronda hansip, yang lalu menyampaikan ke saya. Lalu, saya yang mendatangi mereka. Jika tidak begitu, selalu ada saja alasan para ibu enggan ditangani tenaga kesehatan,” ungkap Eulis.

Untuk memudahkan mobilitas, Eulis menggandeng pengojek dan para sopir pengangkut hasil bumi lewat program Ambulans Desa. Dogong (sejenis minibus) adalah kendaraan yang sering dia gunakan. ”Melalui ambulans desa ini, semua warga berkomitmen menyediakan layanan persalinan,” ujar Eulis yang tidak jarang menyetir sendiri angkutan itu.

Uniknya pula, biaya operasional persalinan diperoleh dari hasil arisan ibu hamil sebesar Rp 1.000 per hari per ibu hamil selama satu tahun. Hal ini juga dilakukan Widiarti, kader kesehatan di Klakah, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Dana arisan, ucap Winarti yang juga meraih penghargaan Sang Teladan, dikumpulkan kader-kader kesehatan di pos-pos pelayanan terpadu kesehatan. ”Ini (arisan) sebetulnya juga menjadi sarana agar para ibu hamil tetap dapat terpantau dan melahirkan di layanan kesehatan, bukan oleh para dukun beranak yang kurang mendapatkan pelatihan medis,” ujarnya.

Alhasil, di wilayah kerja Eulis dan Winarti, kasus kematian ibu dan bayi saat ibu melahirkan bisa ditekan hingga nol. Padahal, di desa-desa lain di wilayah mereka tinggal, kasus kematian ibu melahirkan masih terus terjadi.

Tertinggi di Asia Tenggara

Angka prevalensi kematian ibu melahirkan di Indonesia saat ini tergolong tinggi, bahkan yang tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 228 kasus per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini, menurut Utusan Khusus Kepresidenan Program MDGs Nila F Moeloek, menjadi beban terbesar pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 2015 di Indonesia.

Persoalan lainnya adalah rendahnya asupan kalori dan gizi, terutama pada anak-anak, di Tanah Air akibat kemiskinan. ”Jika itu terus dibiarkan, kita akan kehilangan satu generasi pada masa depan yang sudah bodoh, miskin, lalu sakit-sakitan pula,” ujarnya mengungkapkan kekhawatirannya akan persoalan kesehatan dan kemiskinan dalam sebuah forum diskusi di Jakarta.

Kekhawatiran inilah yang membuat Michael Leksodimulyo, dokter sukarelawan, menjalankan klinik keliling di Surabaya. Ia memfokuskan pelayanan kepada kaum terpinggirkan, seperti anak jalanan, warga tunawisma, pengemis, dan pekerja seks. Lewat lembaga Yayasan Pondok Kasih, ia rutin mengobati warga miskin di 87 titik (kantong) kemiskinan di Surabaya.

Salah satu pos layanan kesehatan itu berada di tempat lokalisasi Gang Dolly. Michael juga membuka panti perawatan bagi anak-anak para pekerja seks komersial (PSK) di Gang Dolly yang telantar. ”Mereka (PSK dan anak-anaknya) ini, kan, umumnya orang-orang yang terlupakan. Jika bukan kita yang ’mengangkat’ mereka, siapa lagi yang mau peduli?” ucap peraih penghargaan Sang Teladan Favorit itu.

Keteguhan dan komitmen para peraih penghargaan Sang Teladan itu membuat sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, berkomentar, ”Mereka ini adalah orang-orang abnormal, mereka yang menantang arus untuk memberikan suatu layanan kesehatan yang luar biasa dan tanpa pamrih.”

”Tak peduli ada dan menghasilkan uang atau tidak, lalu dengan segala keterbatasannya, mereka berinovasi. Berbeda dengan birokrat kita yang umumnya menunggu dana turun dulu baru jalan idenya. Untuk negara tengah abnormal seperti kita, perlu banyak cara tidak normal seperti yang mereka lakukan ini,” ujarnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com