Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyehatkan Jiwa Warga Kota?

Kompas.com - 19/10/2011, 03:27 WIB

Fakta pertama, Jakarta tergolong tinggi untuk gangguan mental dan emosional, seperti depresi dan perilaku agresif. Kedua, jumlah penderita gangguan jiwa ringan naik dari 159.029 orang pada tahun 2010 menjadi 306.621 orang pada triwulan kedua 2011. Ketiga, gangguan jiwa banyak menimpa warga usia produktif, yaitu 20-40 tahun.

Sudah saatnya kebijakan pemerintah Ibu Kota mengarah ke pembangunan kota sehat jiwa. Lingkungan fisik dan psikis di Jakarta sudah demikian buruk dan membuat warganya mudah tertekan. Kemacetan di jalan, persaingan di tempat kerja, ditambah pola hidup yang kurang sehat membuat warga Jakarta rentan mengalami gangguan jiwa.

”Mulai dari depresi ringan hingga berat mudah menghinggapi penduduk Jakarta. Mulai dari merasa tidak bahagia, tidak peduli dengan lingkungan, hingga halusinasi dan menyakiti diri sendiri sering terjadi,” kata Direktur Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan Bella Patriajaya.

Yang terlihat kemudian adalah tawuran, kekerasan dalam rumah tangga, penyalahgunaan narkoba, perceraian, dan bunuh diri. Fenomena ini, menurut Guru Besar Departemen Psikiatri Universitas Indonesia Sasanto Wibisono, fenomena gunung es masalah kesehatan jiwa.

”Di bawahnya ada banyak persoalan yang tidak tampak, seperti kebijakan perkotaan yang kurang tepat, kekacauan sistem nilai sosial budaya, perubahan pola hidup, serta turunnya toleransi dan kepedulian sosial,” ujar Sasanto.

Contoh kecil, setiap hari ribuan kendaraan memadati jalan raya di Jakarta. Saat yang sama, jalur busway harus steril dari kendaraan lain. Kondisi itu menimbulkan dorongan bagi sebagian pengendara untuk melanggar peraturan lalu lintas dengan menerobos masuk jalur busway.

Pilihan menerobos tersebut diambil karena pengendara terdesak keterbatasan waktu untuk sampai di tempat kerja tepat waktu di tengah kemacetan yang berlangsung berjam-jam. Pengendara sadar bahwa dia melanggar peraturan lalu lintas, tetapi daripada terlambat tiba di tempat kerja dia memutuskan melanggar peraturan.

Sebagus apa pun fasilitas perawatan penderita gangguan jiwa jika akar persoalan dari hulu tidak diselesaikan, kesehatan jiwa warga kota tidak akan meningkat. Fasilitas ini pun masih menjadi persoalan karena jumlahnya belum memadai.

Dari dua rumah sakit pemerintah, satu rumah sakit swasta, dan empat panti laras di Jakarta, tempat tidur yang tersedia tak lebih dari 1.000 unit. Padahal, Jakarta memerlukan setidaknya 30.000 tempat tidur untuk perawatan gangguan jiwa.

Sulit

Dengan kondisi itu, Direktur RSKD Duren Sawit Joni H Ismoyo mengatakan, sulit untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara menyeluruh bagi warga Jakarta. Di rumah sakit itu tersedia 134 tempat tidur, sementara di RSJ Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta Barat, kapasitasnya 300 tempat tidur.

Bella mengatakan, di rumah sakit jiwa, penderita gangguan jiwa mendapatkan terapi biologis, psikoterapi, rehabilitasi sosial, dan bimbingan spiritual. ”Jika dua pekan pertama penderita gangguan jiwa segera datang kemari, kemungkinan besar bisa sembuh 100 persen. Sayangnya, pasien gangguan jiwa dibawa ke RSJ setelah lebih dari enam bulan. Akibatnya, harapan sembuh hanya 30 persen,” katanya, pekan lalu.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, dalam peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, mengatakan, saatnya dilakukan investasi kesehatan jiwa sejak dini. Mulai tahun 2012 pihaknya akan mempromosikan kesehatan jiwa yang menyeluruh dimulai dari sekolah dasar.

Dia berharap ada semacam latihan menghadapi persoalan yang bisa menjadi keterampilan hidup anak-anak itu pada masa mendatang. Pasalnya, persoalan akan terus ada. Ketika dewasa, mereka juga akan menghadapi sukarnya mencari pekerjaan, atau upah terbatas, yang menyebabkan antara harapan dan kenyataan tidak sama.

Jakarta terhitung terlambat dalam membangun kota yang sehat bagi jiwa warganya. Desain kota seperti dibiarkan tumbuh begitu saja sehingga menyuburkan agresivitas. Padahal, kota terus berubah seiring bertambahnya orang yang datang ke Jakarta dari sejumlah tempat di Indonesia.

Ruang-ruang publik tidak tumbuh, kalah bersaing dengan pembangunan perkantoran, permukiman, dan pusat perbelanjaan. Taman yang hijau sebagai tempat bersantai sejenak dari keriuhan dan polusi kota tidak memadai dan tidak terawat. Jalur pedestrian diokupasi pedagang dan sepeda motor sehingga tak menyisakan ruang bagi pejalan kaki.

Warga tidak memiliki saluran untuk melepaskan kepenatan yang gratis. ”Rancangan kota yang sehat secara psikis belum dijalankan dengan sungguh- sungguh. Pola kehidupan yang tidak sehat, baik secara fisik maupun mental, masih banyak ditemui di Jakarta, terutama di kantong-kantong padat penduduk,” kata Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Irmansyah.

Dengan kian bertambahnya risiko gangguan jiwa, sudah saatnya pemerintah membenahi kota menuju kota yang sehat bagi jiwa warganya. Pengembalian fungsi jalur pedestrian, perawatan taman, dan penataan lalu lintas untuk mengurangi kemacetan bisa menjadi langkah awal memberi ruang bagi kepenatan warga Ibu Kota.

Kekeluargaan dan kepedulian di tengah masyarakat pun harus kembali digiatkan. (FRO/MDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau