Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebuah Oase bagi Penderita Gizi Buruk

Kompas.com - 09/11/2011, 06:40 WIB

Ruang tunggu di Klinik Gizi itu riuh dengan suara anak-anak yang berlari dan menangis, serta suara ibu yang menenangkan anaknya. Sebagian ibu mencoba membujuk anaknya untuk menerima suapan bubur kacang hijau. Lalu, terdengar nama mereka dipanggil satu per satu dari ruang periksa.

”Buka seluruh pakaiannya, ya,” tutur dr Bona Simanungkalit yang memeriksa seorang bocah laki-laki yang tubuhnya kurus, Selasa (8/11). Ia lalu menempelkan stetoskop ke dada bocah itu. Kemudian, ia membalikkan tubuh bocah itu dan menempelkan stetoskop tersebut ke punggung sang bocah.

Setelah itu, ia memeriksa berat bocah itu yang sudah lebih dahulu ditimbang petugas di ruang tunggu. Ia menggelengkan kepala. Lalu, ia bertanya kepada ibu bocah itu, berapa kali anak itu makan dalam sehari. Sang ibu menjawab tiga kali sehari dengan piring kecil.

”Kalau segitu tidak akan bertambah berat badannya. Beri makan delapan kali sehari kalau begitu. Mana lebih banyak makannya kalau delapan kali setengah piring atau tiga kali satu piring kecil,” ujarnya. Sang ibu hanya bisa mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya.

Lalu, berganti lagi pasien lain yang masuk. Hingga tengah hari tak putus pasien yang berdatangan. Begitu pemandangan rutin setiap Selasa di Klinik Gizi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Kementerian Kesehatan di Kota Bogor, Jawa Barat. Klinik Gizi itu khusus melayani pasien gizi buruk setiap hari Selasa tanpa dipungut bayaran. Pasien juga diberi obat gratis.

Pasien yang terdata diwajibkan datang setiap sepekan atau dua pekan sekali guna memantau perkembangan anak. Hal ini penting karena gizi buruk pada masa emas pertumbuhan anak akan membuat kecerdasan anak menurun. Bukan tidak mungkin masalah ini juga makin memerosokkan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia.

Awal November 2011, UNDP mencatat, peringkat IPM Indonesia turun menjadi peringkat ke-124 dari peringkat ke-108 (2010). Kendati IPM meningkat dari 0,613 menjadi 0,617, itu masih di bawah rata-rata dunia 0,682. Peringkat Indonesia juga jauh di bawah negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Membuahkan hasil

Desti (2), bocah perempuan dari Leuwiliang, Kabupaten Bogor, sudah sebulan jadi pasien Klinik Gizi. Dia diantar bibinya, Titin (25), naik ambulans dari Puskesmas Leuwiliang menuju klinik itu. Ambulans itu digunakan untuk mengantar pasien gizi buruk yang hendak periksa rutin di Klinik Gizi. Ada empat anak dan pengantarnya memanfaatkan layanan antar itu.

Hari itu berat badan Desti masih sekitar 6,3 kilogram, masih di bawah berat badan yang diharapkan dokter, sekitar 10 kg. Namun, berat Desti sudah naik ketimbang saat datang sebulan lalu, sekitar 4,9 kg. Bocah itu terlihat begitu aktif dan langsung mengulurkan tangan mengajak bersalaman kepada orang yang ditemuinya. Ia juga kerap tersenyum. Senyum yang sungguh manis dari sang bocah.

”Dia mulai turun berat badannya karena enggak mau makan, enam bulan lalu. Biasanya masih mau minum air teh atau dikasih susu,” tutur Titin.

Ibu Desti, Cucun (23), kini sedang repot karena juga memiliki satu anak berusia 6 bulan. Selisih kelahiran kedua anak itu hanya setahun. Sementara suaminya sibuk bekerja sebagai buruh di pabrik tahu. Keluarga itu berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan.

”Pada saat krisis moneter 1998, pasien yang datang sekitar 40 orang setiap Selasa. Sekarang, setelah ada belasan puskesmas bisa menangani pasien gizi buruk, ada 20-30 pasien yang datang ke sini. Naik atau turun jumlahnya kalau begitu? Silakan Anda menilai,” tutur Bona Simanungkalit, dokter sekaligus peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan.

Data dari Klinik Gizi, selama tahun 2011 sudah ada 30 pasien gizi buruk dan 14 pasien kekurangan gizi yang baru ditangani, di luar pasien lama yang rutin ikut pemeriksaan. Sementara tahun 2010, ada 55 pasien baru. Jumlah itu relatif berfluktuatif, tetapi dokternya hanya ada tiga.

”Ini tidak dibayar. Murni probono dengan memanfaatkan waktu luang kami,” tutur Bona yang buka praktik di rumahnya.

Menurut dia, susah-susah gampang menangani kasus gizi buruk karena persoalannya tidak hanya medis. Tidak jarang pasien yang sudah ”lulus” tiga bulan kemudian balik lagi karena asupan gizinya kurang.

”Mestinya lintas sektor. Boleh tidak kami, dokter, membuat dua resep. Pertama untuk apotek menebus obat dan satu ke pemerintah daerah agar akar penyebab gizi buruknya teratasi,” tuturnya.

Jika tidak ada sinergi semacam itu, menurut Bona, sulit mengangkat anak-anak calon penerus bangsa itu dari jurang gizi buruk. (Antony Lee)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com