Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Penjara untuk Penyembuhan

Kompas.com - 04/12/2011, 11:17 WIB

Oleh Mawar Kusuma & Aryo Wisanggeni

KOMPAS.com — Butuh perjuangan panjang hingga pengobatan alternatif diterima dunia medis. Putu Oka Sukanta memulai perjuangan itu ketika belajar akupunktur atau tusuk jarum di Penjara Salemba. Kini, rumah sakit pun menggunakan cara akupunktur sebagai upaya penyembuhan.

Sebagai tahanan politik, ia memanfaatkan senar gitar halus untuk mengganti jarum dan kemudian mengembangkan teknik akupresur atau akupunktur tanpa jarum. Sepuluh tahun di penjara sejak 1967, Putu mengembangkan teknik-teknik baru akupresur dengan pijatan jari. Kini, ratusan orang sudah belajar dari keahliannya, dan buku teori serta praktik pijat akupunktur yang disusunnya telah diadopsi Kementerian Kesehatan.

Persentuhan Putu dengan dunia medis diawali ketika ia mulai menularkan keterampilan akupresur kepada masyarakat, dan terlibat di Puskesmas Ragunan, Jakarta Selatan. Dari Ragunan, akupresur kemudian dikenalkan juga ke pihak puskesmas di Duren Sawit, Petamburan, dan Pondok Kelapa.

Pada tahun 1990-an, kegiatan yang dijalankan Putu melalui Yayasan Pengobatan Tradisional Indonesia (Yaptri) ini dinyatakan aman oleh Departemen Kesehatan. Bahkan, Departemen Kesehatan membuat program pelatihan dan pengembangan akupresur untuk kader kesehatan desa dan tenaga kesehatan.

Akupresur mudah dipelajari karena tidak membutuhkan jarum, dan kurikulumnya cukup singkat. Akupresur bisa dimanfaatkan untuk penyembuhan diri (self healing), terutama untuk penyakit ringan, seperti mual dalam perjalanan, sakit kepala ringan, dan susah buang air besar.

Putu juga mengajarkan ilmu akupresur ini di tujuh penjara di Jakarta, terutama untuk peningkatan daya tahan tubuh bagi pasien HIV/AIDS. Saat ini, Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan LP Salemba juga sudah memiliki klinik akupresur yang dijalankan warga binaan. "Minat masyarakat sangat tinggi karena akupresur aman," ujar Putu.

Ramai-ramai belajar

Kini, sejumlah rumah sakit, seperti CD Bethesda di Klitren, Yogyakarta, membuka klinik akupunktur dan akupresur. Mariskoti (48) adalah salah satu pasien terapis akupunktur Henri Zakharia (24) di CD Bethesda. Selama 30 menit, kabel-kabel listrik dari sebuah kotak kecil yang disebut stimulator mengirim aliran listrik untuk menggetarkan jarum di tubuh Mariskoti. "Sejak dua tahun terakhir saya mengandalkan akupunktur untuk meredakan serangan vertigo," katanya.

Akupunktur juga memikat Bustanul Arifin (28), mahasiswa S-2 Jurusan Biomedis dan Jurusan Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia kini kerap menjalani terapi akupunktur justru karena dirinya sedang berguru di Klinik Akupunktur dan Akupresur CD Bethesda.

Siang itu, Bustanul menjalani terapi akupunktur untuk mengurangi kegemukan. Sejumlah jarum ditusukkan ke perutnya, juga sisi luar betisnya. Bustanul menakar sendiri derasnya aliran listrik dari stimulator ke-12 jarum di sekujur tubuhnya. Kengerian melihat jarum di sekujur tubuh Bustanul sirna karena dia terus bergurau dengan Henri yang membimbingnya.

Bustanul tertawa saat ditanyai mengapa paramedis semakin tertarik akupunktur. "Bagaimana paramedis tidak meminati akupunktur kalau semakin banyak jurnal ilmiah kedokteran di luar negeri yang membahas manfaat akupunktur?" Bustanul balik bertanya.

Dengan biaya kursus akupunktur Rp 8,25 juta per 10 bulan, tidak heran Klinik Akupunktur dan Akupresur CD Bethesda selalu diantre calon anak didik. Peminatnya bisa mencapai 60 orang per pembukaan masa pendidikan akupunkturis, padahal daya tampung Diklat Akupunktur CD Bethesda hanya 15 orang per angkatan.

Akupunkturis yang juga Kepala Irjal RS Bethesda dr Yanti Wulandari membeber bagaimana dunia kedokteran semakin membuka diri terhadap akupunktur. Kini akupunktur melengkapi pengobatan medis dan fisioterapi pasien.

"Sudah lazim kalau dokter spesialis saraf merujuk pasien stroke menjalani terapi akupunktur. Dengan akupunktur, pemulihan pasien stroke berjalan lebih cepat. Akibatnya, rentang waktu pengobatan medis bisa dipersingkat, begitu juga masa fisioterapi," kata Yanti.

Minat orang terhadap akupunktur pun kian meningkat. Kini, semakin banyak pasien RS Bethesda datang meminta terapi akupunktur. "Saya juga membuka praktik dokter umum yang setiap hari menerima 25-30 pasien. Sejumlah 10-15 orang di antaranya menjalani terapi akupunktur," kata Yanti.

Biaya terapi akupunktur yang dipatok Yanti berkisar Rp 100.000 pada terapi pertama, dan Rp 60.000 pada terapi berikutnya.

Terapi lintah

Jenni B Ultrisza yang sehari-hari bekerja sebagai dokter gigi juga tertarik pada pengobatan alternatif. Selama praktik, dia sering menjumpai pasien menderita penyakit gula darah atau darah tinggi parah. Pasien dengan penyakit seperti itu tidak boleh dicabut giginya sampai gula darah atau tekanan darahnya turun.

Akhirnya, Jenni menawarkan kepada pasiennya untuk mencoba terapi lintah yang Jenni kuasai. Sehari setelah diterapi lintah, tekanan darah dan gula darah beberapa pasien turun sehingga Jenni bisa mencabut gigi mereka.

Dari situ, Jenni menyediakan tempat khusus terapi lintah di kliniknya, Qonita Dentistika Plus,  Jalan Rawa Buntu Utara Raya, Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, setahun terakhir. Kegiatan terapi dilakukan asistennya jika dia sibuk. Biayanya bergantung jumlah lintah yang digunakan. Umumnya sekitar Rp 200.000 sekali terapi.

Jenni mengenal terapi lintah ketika mengobati penyakit darah tinggi suaminya yang kian parah. Beberapa kenalan menyarankan agar suami Jenni menjalani terapi lintah. "Saya pikir, kenapa tidak. Akhirnya kami mencoba tahun lalu. Setelah diterapi beberapa kali, tensi darahnya pun turun dari 140-150 menjadi 120-an. Dia juga sudah bisa nyetir sendiri ke mana-mana," kata Jenni.

Cara kerja terapi ini sebenarnya seperti orang donor darah. Darah berikut racun-racun yang terkandung di dalamnya disedot lintah, kemudian tubuh memproduksi sel darah baru. Dengan demikian, tubuh akan lebih segar.

Jenni sendiri akhirnya tertarik mencoba terapi lintah untuk mengobati penyakit tekanan darah rendahnya. Setelah terapi, dia merasa tidak mudah lelah dan pusing. "Dulu kerja sampai jam 12 malam langsung pusing, sekarang tidak," ujarnya.

Jenni melihat pengobatan medis dan alternatif tak perlu dibenturkan. Dalam pandangan Jenni, upaya berobat bisa ditempuh dengan berbagai cara, mulai dari pengobatan secara medis, pemijatan, herbal, jus, hingga terapi lintah. "Yang penting kan sembuh," ujar Jenni. (Budi Suwarna)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau