KOMPAS.com - Bagi Anda yang terbiasa bekerja lebih dari batas waktu yang ditentukan atau lembur sebaiknya berhati-hati. Sebuah riset terbaru menunjukkan, jam kerja yang panjang dapat meningkatkan risiko mengalami depresi.
Penelitian melibatkan 2.123 pegawai sipil di Inggris selama enam tahun menunjukkan, mereka yang bekerja setiap hari rata-rata minimal 11 jam di kantor memiliki peluang dua setengah kali lebih tinggi mengalami depresi ketimbang rekannya yang bekerja hanya tujuh atau delapan jam setiap hari.
Hubungan antara jam kerja yang panjang dan depresi tetap ada, meskipun peneliti telah memperhitungkan faktor-faktor pencetus lainnya seperti tekanan pekerjaan, dukungan di tempat kerja, penggunaan alkohol, merokok, dan penyakit fisik kronis.
Kepala Departemen Psikiatri di Lenox Hill Hospital New York City Bryan Bruno MD yang tidak terlibat dalam penelitian menilai, meski temuan ini konsisten dengan studi sebelumnya, tetapi cenderung ada peningkatan risiko depresi pada mereka yang terbiasa berkerja lembur.
Uniknya, peneliti juga menemukan bahwa pegawai dengan jabatan rendah cenderung lebih mudah mengalami depresi ketika harus bekerja lembur ketimbang pegawai yang mempunyai jabatan tinggi seperti, sekretaris, direktur, supervisor, dan manajer.
Kepala Departemen Psikiatri, Pennsylvania State University Alan Gelenberg MD menduga, hal ini mungkin dikarenakan kontrol ketat yang didapat dari atasan cenderung lebih tinggi ketimbang pekerjaan mereka sendiri. "Kita memiliki kontrol lebih atas apa yang kita kerjakan dan dapat memilih hal-hal yang menyenangkan. Saya melakukan apa yang ingin saya lakukan, dan ketika saya harus kerja lembur selama satu minggu penuh, itu pilihan saya," kata Gelenberg.
Peneliti mengatakan, kerja selama berjam-jam di kantor bisa menyebabkan depresi dalam beberapa cara, seperti menciptakan konflik keluarga, akibat meningkatnya kadar kortisol (hormon stres). Selain itu, ketidakamanan dan kurangnya waktu tidur juga dapat membantu menjelaskan peningkatan risiko depresi.
Bruno mencatat bahwa hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kurang tidur sebagai faktor risiko utama dalam memicu depresi saat bekerja. Beberapa penelitian sebelumnya yang mempelajari hubungan antara kerja lembur dan depresi menunjukkan hal yang sama, tetapi kebanyakan riset tersebut menerapkan standar yang kurang ketat dalam mengukur hubungan antara keduanya.
Dalam penelitian terbaru, Marianna Virtanen, Ph.D., dari Finnish Institue of Occupational Health di Helsinki melakukan kajian dengan menerapkan konsultasi secara langsung dan menggunakan kriteria resmi dari Asosiasi Psikiatri Amerika dalam mengukur depresi klinis. Vitanen berpendapat apa yang dilakukannya ini adalah penelitian yang langka.
Dalam studi yang juga dipublikasi dalam jurnal PLoS ONE, Virtanen melibatkan para pegawai sipil dari 20 kantor cabang yang berbasis di London. Para pegawai yang terlibat dalam penelitian diketahui memiliki mental yang sehat ketika pertama dievaluasi antara tahun 1991-1993. Tetapi enam tahun kemudian, lebih dari 3 persen pegawai mengalami depresi klinis. Risiko depresi meningkat pada mereka yang sering kerja lembur.
Peneliti mencatat, mayoritas peserta (sekitar 52 persen) bekerja selama 7-8 jam setiap hari. Sementara 37 persen yang lainnya bekerja 9-10 jam sehari, dan 11 persen bekerja 11 jam atau lebih.
Peneliti mengakui, studi ini masih memiliki beberapa kekurangan. Kelemahan itu di antaranya adalah risiko depresi hanya diperhitungkan pada kalangan pekerja "kerah putih" yang notabene bekerja di sektor formal. Alhasil, pengaruh kerja lembur dalam memicu depresi belum tentu berlaku sama pada kelompok pekerja kerah biru atau sektor informal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.