Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minum Cokelat, Mandi pun Pakai Cokelat

Kompas.com - 13/02/2012, 16:14 WIB

KOMPAS.com - Adonan cokelat itu pelan-pelan dibalurkan ke punggung seorang dara. Gending Jawa terdengar lembut mengalir. Ia memejamkan mata, merasakan buliran cokelat yang lumer oleh hangat tubuhnya. Ah, di negeri berlimpah kakao, orang bisa menikmati mandi cokelat.

"Spa cokelat bikin rileks dan segar,” ujar Ria, dara yang telah tiga jam menjalani perawatan spa cokelat.

Spa cokelat memang kian digemari orang di beberapa pusat kecantikan di Jakarta dan kota-kota lainnya. Di Puri Saras Spa di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, tempat Ria menjajal spa cokelat, paket perawatan cokelat ditawarkan dengan harga sekitar Rp 500.000. Meski cukup mahal, menurut Litha, karyawan, peminatnya selalu ramai -termasuk kaum lelaki.

Martha Tilaar Spa juga tak ketinggalan menghadirkan spa cokelat. Menurut Direktur Martha Tilaar Spa Wulan Tilaar, cokelat bermanfaat untuk mempercantik kondisi kulit. ”Cokelat yang digunakan adalah produk hasil alam Indonesia,” tandas Wulan.

Tren spa cokelat belakangan ini pada akhirnya juga membuat usaha kecil pembuat lulur cokelat kecipratan rezeki. Dari sebuah perkampungan sederhana di Yogyakarta, lulur cokelat diproduksi secara tradisional untuk memenuhi permintaan pasar yang kini marak.

”Spa cokelat sekarang memang sedang tren karena itu kita bikin lulur cokelat,” kata Dwi Isti Winarni, yang memproduksi aneka lulur, termasuk cokelat, dari rumah usaha Spa Jogja.

Bahan baku cokelat yang diolah Dwi menjadi lulur berasal dari petani cokelat di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dikenal sebagai salah satu sentra perkebunan cokelat. Dwi menjalankan usaha kecilnya berbasis online. Oleh karena itu, permintaan lulur cokelatnya datang dari berbagai daerah di Indonesia hingga Timor Leste. Setiap kali ada pesanan, lulur baru dibuat. Sebab, tanpa penambahan pengawet, lulur menjadi terbatas waktu simpannya.

”Pemerintah mestinya mendukung sektor hilir seperti kami daripada ekspor bahan mentah yang nilai tambah ekonominya rendah. Sayang, kami sering terkendala perizinan di birokrasi,” keluh Dwi.

Kakao yang berlimpah di negeri ini memang sudah sepantasnya membuat siapa pun bisa merengkuh rezeki dari cokelat. Selain lulur cokelat yang menjadi andalan spa cokelat, usaha lokal skala kecil-menengah, seperti Bali Ratih dari Bali, juga percaya diri memproduksi body lotion, body butter, dan scrub berbasis cokelat.

Sekolah cokelat
Kian populernya kuliner berbasis cokelat juga membuat gerai dan kedai cokelat bermunculan di mana-mana. Di Jakarta gerai dan kafe cokelat, seperti Dapur Cokelat dan The Harvest, telah populer lebih dahulu.

”Sekarang selera orang senang dark chocolate yang agak pahit,” ungkap Agusta Grahadi, Manajer Operasional Cokelat Cafeshop di Yogyakarta. Kedai cokelat ini juga populer di kalangan remaja Yogya yang menggemari minuman hot chocolate.

Selain kedai cokelat, cokelat praline yang masih dianggap mewah juga kian akrab di lidah awam. Penganan ini merupakan kudapan cokelat sekali suap dengan aneka isian. Kini, skala rumah tangga pun mampu membuat praline nan apik dengan harga terjangkau. Tak heran, di kota, seperti Magelang, Jawa Tengah, pun dapat dijumpai gerai khusus praline. Bahkan, praline kini juga menjelma sebagai suvenir dalam resepsi pernikahan.

Jika dahulu belajar membuat praline harus ke Belgia, misalnya, kini kursus praline juga menjamur di dalam negeri. Salah satu tempat untuk ”mencuri” keterampilan membuat praline adalah Chocolate School by Tulip di Jakarta. Sekolah ini dibuka oleh PT Freyabadi, produsen cokelat untuk skala industri.

Christina Mumpuni Erawati, Kepala Chocolate School by Tulip, menjelaskan, minat orang Indonesia pada cokelat memang meningkat dengan variasi produk cokelat juga kian beragam. Belakangan, konsumsi cokelat di Indonesia cenderung meningkat 15-20 persen per tahun.

Yumi (21), mahasiswi, termasuk salah satu peserta sekolah cokelat ini. Dia dan ibunya, Mira Suprayatmi (46), berencana membuka gerai praline. Keinginan dan hasrat mereka pada cokelat bermula dari pengalaman Mira tinggal di Belgia selama empat tahun terakhir.

”Cokelat Belgia terkenal banget, padahal di sana enggak ada kebun cokelat. Sebagian cokelatnya dari Indonesia juga. Ibu saya belajar cokelat di sana, saya kursus di sini saja,” ujar Yumi.

Indah (40), karyawati bank di Jakarta, juga ikut kelas dasar di Tulip karena tertarik berbisnis cokelat. ”Setelah kursus, saya mulai terima pesanan kue disiram cokelat dan praline pada momen-momen khusus,” ujar Indah yang juga berencana segera membuka gerai kue dan cokelat ini.

Melalui kursus membuat praline ini, peserta belajar lebih jauh mengenai cokelat. ”Semakin masyarakatnya memahami cokelat, akan makin maju pula industri cokelat. Belum banyak orang yang paham mana yang bisa disebut cokelat, dan belum ada standardisasi produk cokelat,” ujar Christina.

Christina mencontohkan, banyak produk disebut cokelat, padahal tak mengandung lemak cokelat (cocoa butter). Sebagai gantinya, yang digunakan justru komodifikasi lemak dari kelapa sawit.

”Jadi, tidak asal semua yang berwarna cokelat dan berasa mirip cokelat bisa disebut cokelat. Compound cokelat, misalnya, tidak mengandung lemak cokelat. Cokelat riil harus mengandung lemak cokelat,” ungkap Christine.

Nah, pada saat kalangan birokrat kini sedang kebingungan dengan persoalan ekspor biji kakao, geliat rakyat bermain cokelat di sektor hilir ini sudah memberi bukti nyata....

(Mawar Kusuma/Nur Hidayati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com