Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontrol Bangkitan Saat Hamil

Kompas.com - 03/07/2012, 05:09 WIB

Oleh Adhitya Ramadhan

Epilepsi bukan penyakit menular ataupun penyakit keturunan. Epilepsi adalah penyakit biasa yang bisa dikontrol. Namun, penyandang yang sedang hamil perlu hati-hati agar penyakit ini tetap terkontrol dan tidak mengganggu janin. 

Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Kurnia Kusumastuti mengatakan, epilepsi adalah gangguan saraf yang ditandai dengan serangan atau bangkitan epilepsi yang berulang dan terjadi tanpa sebab. Yang dimaksud bangkitan adalah gangguan perilaku yang muncul dan hilang mendadak akibat pola abnormal dari aktivitas listrik otak.

Tanda-tanda klinis bangkitan dapat berupa gangguan sensorik subyektif, penurunan kesadaran, dan perubahan tingkah laku. Semua itu bergantung pada bagian otak di mana terjadi aktivitas listrik abnormal, apakah di otak depan, belakang, atau tengah.

Dokter spesialis saraf RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Dwi Putro Widodo mengatakan, di negara berkembang, jumlah kasus epilepsi pada anak 25-840 per 100.000 penduduk per tahun.

Meski belum ada pengobatan yang mampu menyembuhkan epilepsi, 80 persen anak yang menyandang epilepsi bisa hidup normal. Dengan pengobatan benar dan teratur, bangkitan bisa terkontrol.

Hasil penelitian di Amerika Serikat, Inggris, dan Swedia menunjukkan, setelah menjalani pengobatan teratur selama 10 tahun, bangkitan selama lima tahun berkurang 58-65 persen.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), epilepsi menyerang satu persen penduduk dunia. Diperkirakan di Indonesia ada 2,4 juta penyandang epilepsi, separuhnya adalah perempuan.

Perlu waspada

Perempuan dengan epilepsi perlu mewaspadai beberapa fase hidup yang terkait erat dengan perubahan hormonal, yakni ketika memasuki masa pubertas, menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, menggunakan alat kontrasepsi, dan menopause.

Perubahan hormon bukan penyebab epilepsi. Tetapi, pada penyandang epilepsi, perubahan hormon dapat menyebabkan timbulnya bangkitan dan perubahan pola bangkitan.

Perempuan hamil dengan epilepsi memiliki risiko komplikasi obstetrik yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan normal. Mereka berisiko melahirkan prematur (4-11 persen) dan melahirkan bayi dengan berat badan di bawah 2.500 gram (7-10 persen). Perempuan hamil dengan epilepsi lebih mungkin terkena anemia dibandingkan perempuan yang tidak epilepsi.

Peningkatan frekuensi bangkitan pada perempuan hamil dengan epilepsi diperkirakan meningkat pada trimester pertama kehamilan. Peningkatan itu di antaranya dipicu oleh perubahan hormonal, metabolik, kurang tidur, dan stres. Rasio estrogen-progesteron pada ibu hamil yang berubah-ubah dapat meningkatkan frekuensi bangkitan.

”Perubahan hormon tidak menyebabkan epilepsi, tetapi memengaruhi bangkitannya. Hormon estrogen bisa memicu bangkitan, sedangkan progesteron sebaliknya,” kata Kurnia.

Menurut dia, perempuan hamil dengan epilepsi tidak perlu khawatir walau bangkitan pada wanita hamil meningkat 23-30 persen. Lebih dari 93 persen kehamilan perempuan dengan epilepsi berlangsung normal dan janinnya sehat.

Kurnia menambahkan, proses persalinan pada perempuan hamil dengan epilepsi juga berisiko, yakni peningkatan bangkitan (33 persen), dan peningkatan perdarahan pascamelahirkan (10 persen).

Perempuan dengan epilepsi, demikian Kurnia, kerap khawatir bisa menurunkan penyakitnya kepada anak. Sesungguhnya perempuan hamil dengan epilepsi tidak perlu khawatir janin yang dikandungnya menderita epilepsi. Sekalipun ayah dan ibu menderita epilepsi, peluang diturunkan kepada janin hanya lima persen. Karena itu, sering dinyatakan epilepsi bukan penyakit keturunan.

Obat antiepilepsi

Yang perlu diperhatikan, obat antiepilepsi (OAE) tertentu bisa menimbulkan cacat pada janin. Karena itu, perempuan hamil dengan epilepsi perlu berkonsultasi dengan dokter untuk mengurangi atau mengganti jenis OAE serta menambah suplemen asam folat untuk memperkuat janin. Konsumsi asam folat sebelum kehamilan dan selama trimester pertama kehamilan meminimalkan risiko cacat.

Kurnia menyarankan, sebelum hamil, penyandang epilepsi mengontrol bangkitan dan minum hanya satu jenis OAE.

Persalinan, demikian Kurnia, sebaiknya dilaksanakan di rumah sakit yang memiliki fasilitas perawatan epilepsi dan perawatan intensif bayi. Persalinan bisa dilakukan tanpa operasi.

Saat menyusui, walau OAE ikut keluar dalam air susu ibu (ASI), perempuan dengan epilepsi disarankan tetap memberikan ASI. ”Jumlah OAE yang keluar dari ASI sedikit dan tidak menimbulkan masalah berarti pada bayi. Namun, jika muncul efek mengantuk pada bayi harus segera dikonsultasikan dengan dokter,” kata Kurnia.

Tidak jarang, bangkitan pada perempuan hamil dengan epilepsi meningkat akibat perempuan terkait menghentikan konsumsi OAE karena takut berdampak buruk pada janin. Padahal, ada jenis OAE yang aman bagi janin ataupun bayi yang disusui.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com