Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/08/2012, 07:15 WIB

Oleh Indira Permanasari

Seorang pria berusia 59 tahun terbaring di meja operasi. Ada batu menyumbat saluran dan kantong empedunya. Akibatnya, aliran empedu dari hati ke usus terhambat. Batu dan kantong empedu yang rusak akan dikeluarkan siang itu.

Beberapa puluh tahun lalu, tak banyak pilihan selain menyayat dan membuka perut untuk mengatasi kasus itu. Namun, kini, di tubuh pasien hanya perlu dibuat empat lubang kecil. Batu dan empedu diangkat dengan teknik bedah laparoskopi.

Pada bedah laparoskopi, dokter bedah bekerja lewat lubang kecil sebagai akses alat bedah dan kamera video mini. Mereka memantau proses bedah lewat layar monitor berdasarkan gambar yang diambil kamera. Ini berbeda dengan bedah terbuka yang sayatannya bisa mencapai 20 sentimeter.

Bedah laparoskopi mempunyai sejarah panjang dan merupakan sebuah revolusi besar dalam ilmu bedah pada akhir abad ke-20. Percobaan pertama laparoskopi dilakukan dokter asal Inggris, Georg Kelling, pada anjing tahun 1902. Baru tahun 1910, laparoskopi dicoba diterapkan pada manusia oleh Hans Christian Jacobaeus dari Swedia. Teknik itu terus dikembangkan dan kini semakin umum digunakan.

”Di rumah sakit luar negeri, perbandingan laparoskopi dengan bedah sayatan terbuka bisa mencapai 70 berbanding 30 persen,” kata dokter spesialis bedah, konsultan bedah digestif dan laparoskopi RS Pluit Gading, Errawan Wiradisuria. Di Indonesia, bedah laparoskopi dimulai awal tahun 1990-an.

”Hampir semua operasi pada kasus saluran cerna, usus, pankreas, dan empedu yang biasanya dilakukan dengan membuka perut sekarang bisa melalui lubang kecil dan invasif minimal,” tutur dokter spesialis bedah, konsultan bedah digestif dan laparoskopi RS Pluit Gading, Barlian Sutedja, di sela persiapan pengangkatan batu empedu pasien dalam acara Recent Update of Minimally Invasive Management of Hepato Pancreato Biliary Diseases. Acara diselenggarakan Perhimpunan Bedah Endo-Laparoskopi di RS Pluit Gading, beberapa waktu lalu.

Laparoskopi juga digunakan dalam bedah usus buntu, operasi batu empedu, pengangkatan tumor usus, pengangkatan tumor pada kelenjar getah perut, hingga laparoscopic binding (bariatric), yaitu pembedahan bagi pasien yang mengalami obesitas.

”Lubang kunci”

Errawan mengatakan, dokter bedah laparoskopi bekerja pada rongga tertutup melalui ”lubang kunci” pada lapisan perut. Akses masuk-keluarnya alat ke dalam perut melalui trocar, semacam pipa dengan katup yang dipasang pada lubang di lapisan perut. Diameter trocar beragam, mulai dari 2 milimeter, 3 milimeter, 12 milimeter, hingga 15 milimeter, sesuai keperluan.

Masuk-keluarnya alat untuk memegang, melepaskan, dan memotong organ, seperti pisau dan gunting, melalui lubang trocar. Demikian pula sumber cahaya dan kamera pengambil citra.

Rongga perut diisi gas karbon dioksida (CO2). Akibat isian gas, perut menggembung dan usus tertekan ke bawah sehingga tercipta ruang untuk bekerja. Alat-alat bedah berukuran kecil yang digerakkan dari luar oleh dokter bedah bebas bergerak di dalam rongga perut. ”Gas di dalam rongga tidak akan bocor karena ada katup pada trocar,” ujar Errawan.

Sebuah kamera video yang tersambung ke layar monitor dimasukkan ke dalam rongga perut. Dokter bedah bekerja dengan panduan citra suasana rongga perut dan organ di layar monitor. Ketepatan dan ketelitian dalam pembedahan dapat lebih tinggi karena citra organ dapat diperbesar 2,5 kali hingga 3 kali dengan layar high definition. ”Organ yang terlalu kecil terkadang sulit dilihat dengan mata telanjang saat operasi terbuka. Dengan teknik laparoskopi, gambar organ bisa diperbesar sehingga tingkat ketelitian sangat baik,” ungkap Errawan.

Namun, tidak semua pasien dapat menjalani bedah laparoskopi. Menurut dia, pasien hamil tua, misalnya, tidak dapat menggunakan teknik itu karena rongga perut sudah penuh dengan rahim dan kehamilan sehingga sulit menciptakan ruang bekerja.

Pasien dengan infeksi di kulit dan herpes juga dilarang menjalani laparoskopi karena alat-alat bedah dimasukkan lewat lapisan kulit. Jika operasi tidak bersifat darurat dan dapat ditunda, penyakit kulit harus disembuhkan dulu, baru menjalani bedah laparoskopi.

Pasien dengan penyakit paru juga bukan kandidat yang baik karena dikhawatirkan tidak dapat menoleransi gas yang dimasukkan ke dalam perut.

Manfaat laparoskopi

Barlian mengatakan, ada sejumlah kelebihan bedah laparoskopi. Dalam hal ini, pasien lebih cepat pulih. Sayatan hanya membentuk luka kecil sehingga rasa nyeri ringan, komplikasi lebih rendah, risiko infeksi lebih kecil, dan secara kosmetik lebih baik.

Selain itu, kata Errawan, masa rawat pasien di rumah sakit lebih pendek sehingga pasien bisa segera beraktivitas kembali. ”Setelah bedah laparoskopi, pasien hanya perlu perawatan di rumah sakit 3-4 hari. Dengan bedah dengan sayatan terbuka, perawatan di rumah sakit 7-10 hari. Jika dihitung secara keseluruhan, termasuk rawat inap dan obat, biaya bedah laparoskopi hampir sama dengan bedah terbuka,” ujarnya.

Tingkat kesuksesan bedah laparoskopi sangat tergantung pada keahlian dan keterampilan dokter bedah. Beratnya kasus, kondisi pasien, dan ketersediaan alat ikut berpengaruh.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau