Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/09/2012, 05:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Kenaikan jumlah perokok laki-laki berumur lebih dari 15 tahun dari 53 persen menjadi 67 persen dalam waktu enam tahun merupakan buah tak adanya visi dan kemauan nyata dalam kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Kini, rakyat yang harus menanggung akibatnya. Selain menderita berbagai penyakit kronik, keluarga terbebani biaya kesehatan yang mahal dan ekonomi keluarga tertekan.

”Meningkatnya jumlah perokok laki-laki selaras dengan upaya pemerintah untuk membiarkan rakyatnya merokok. Indonesia adalah negara besar yang paling ramah dengan industri rokok,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo di Jakarta, Sabtu (15/9).

Meski Kementerian Kesehatan mendorong Indonesia mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (FCTC), sikap Kemenkes kurang mendapat dukungan kementerian lain dan Presiden. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, yang sudah dibahas sejak 3 tahun lalu, hingga kini belum disahkan.

”Pemerintah sangat tidak sensitif. Padahal, tiap hari, 500 orang Indonesia mati gara-gara rokok,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany secara terpisah. Selain itu, 170 juta perokok pasif terpapar asap rokok dari 64 juta perokok.

Di tengah kondisi itu, pemerintah justru mengizinkan penyelenggaraan kembali World Tobacco Asia (WTA) 2012 pada 19-21 September di Jakarta. Dalam situs resmi WTA 2012, Indonesia tercatat sebagai pasar rokok yang paling cepat pertumbuhannya di dunia. Indonesia juga disebut sebagai pasar rokok yang ramah karena lemahnya aturan pembatasan rokok dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain.

Hasbullah menyesalkan ketidakberdayaan pemerintah menolak penyelenggaraan WTA 2012. ”Jika Indonesia bisa menolak konser Lady Gaga, kenapa pemerintah tak berani menolak WTA yang dampaknya pada kesehatan dan ekonomi rakyat lebih riil,” katanya.

Jika rakyat yang terpapar dan sakit akibat rokok makin banyak, yang rugi juga negara. Biaya kesehatan akan membengkak. Pada saat bersamaan, produktivitas warga menurun sehingga daya saing sumber daya manusia Indonesia makin lemah.

Pendapatan negara dari cukai rokok tahun 2010 hanya Rp 63 triliun, tetapi biaya kesehatan yang harus ditanggung akibat rokok mencapai Rp 231 triliun.

Menurut Hasbullah, pengeluaran rumah tangga untuk rokok Rp 200.000 per bulan. Namun, pemerintah hanya sanggup menanggung iuran kesehatan rakyat miskin dalam jaminan kesehatan semesta 2014 sebesar Rp 22.000 per bulan. (MZW)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau