Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/09/2012, 17:37 WIB

KOMPAS.com - Epilepsi adalah keadaan yang ditandai oleh kejang yang timbul dua kali atau lebih secara spontan. Walau obat-obatan bisa mengontrol penyakit ini, tetapi epilepsi juga bisa berkembang menjadi kronik dan disebut sebagai epilepsi yang sukar disembuhkan.

Sekitar sepertiga pasien epilepsi yang sudah diberikan obat penyakitnya tetap berkembang menjadi epilepsi yang sukar disembuhkan (ESD).

"Agaknya ESD ini tidak ada hubungannya dengan jenis obat, melainkan oleh kelainan pada otak," kata dokter spesialis anak dr.Dwi Putro, Sp.A, saat mempertahankan disertasinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Rabu (19/9/2012).

Sebagai promotor Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Anak FKUI Sofyan Ismael dan kopromotor Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Anak FKUI Sudigdo Sastroasmoro. Tim penguji diketuai Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Sarwono Waspadji.

ESD dapat didefinisikan sebagai keadaan kejang yang masih terjadi 1 kali dalam sebulan dalam 6 bulan terakhir meski sudah diberikan dua jenis obat epilepsi dengan dosis optimal.

Menurut Dwi, ESD telah menjadi mimpi buruk untuk dokter saraf maupun dokter saraf anak. "Ada banyak faktor risiko yang menyebabkan ESD sehingga agak sulit menentukan penyebabnya," katanya.

Sistem skoring untuk menentukan risiko ESD saat ini, menurut Dwi, kurang praktis karena harus mengikuti perjalanan penyakit cukup lama. Padahal, mengikuti ESD secara dini sangat penting untuk membantu dokter dalam tata laksana penyakit.

Dwi mengusulkan pemakaian sistem skoring dari faktor risiko yang terdapat pada anak epilepsi usia 1 bulan sampai 5 tahun untuk mendeteksi kejadian ESD secara dini. Sejumlah faktor risiko yang dinilai antara lain jenis kelamin, onset kejang kurang dari setahun, frekuensi kejang, hingga gambaran MRI.

Model sistem skoring tersebut memiliki nilai sensitivitas 97,3 persen sampai 99 persen.

Namun karena memasukkan faktor pemeriksaan MRI salah satu dosen penguji menilai sistem skoring tersebut tidak bisa dipakai di semua daerah di Indonesia karena rumah sakit yang memiliki pemeriksaan MRI masih terbatas.

Menurut Dwi, selain MRI bisa juga dipakai pemeriksaan USG tetapi sensitivitasnya lebih rendah, yakni 89 persen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com