Setiap orang yang ingin mengisi ulang baterai perangkat elektronik seperti telepon seluler, radio, komputer jinjing, ataupun peralatan memasak, tidak perlu jauh menumpang ke desa terdekat karena setiap desa dimungkinkan adanya kios-kios sejenis.
Konsorsium ini menyebutnya Solarkiosk. Proyek pertama kios diluncurkan di Addis Abeba, Etiopia, Juli lalu. Kios berdiri di tepi Danau Langano, di tengah sebuah desa terpencil.
Di kios telah terpasang instalasi panel surya yang memasok listrik sesuai kebutuhan masyarakat. Semakin besar kios dan layanan yang diberikan, akan lebih banyak panel surya dibutuhkan.
Menurut Sasha Kolopic, salah seorang perintis Solarkiosk, memanfaatkan kios ini akan lebih menguntungkan masyarakat ketimbang mereka harus menggunakan genset atau diesel untuk penerangan dan listrik di malam hari.
Dia memperkirakan 40 persen dari seluruh pendapatan warga selama ini habis untuk biaya listrik pengganti. Minimal Rp 1,5 juta per tahun untuk pembelian lilin, parafin, minyak tanah, dan sejenisnya hanya demi memperoleh penerangan pada malam hari. Penggunaan nonlistrik ini sekitar Rp 30 triliun, lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan penerangan dari layanan listrik publik yang hanya sekitar Rp 20 triliun per tahun.
Dalam konsep kios listrik bertenaga surya, setiap rumah tangga berhemat Rp 100.000 per bulan. Satu kios dapat memasok kebutuhan listrik rata-rata bagi 200 hingga 5.000 rumah tangga.
Menurut Sasha, potensi pasar kios bertenaga surya sangat besar. Ada 1,5 miliar penduduk dunia belum teraliri listrik. Mereka memanfaatkan lilin, kayu, dan minyak tanah sebagai bahan bakar penerangan rumah. Di Afrika saja, jumlah penduduk yang belum terakses listrik sekitar 800 juta.
Pihaknya juga belum bisa menunjukkan satu kisah sukses usaha otonom ini karena satu-satunya kios yang telah berdiri, di Addis Abeba, baru beroperasi dalam 5 bulan terakhir.
Namun, sebagai peluang menciptakan akses listrik bagi masyarakat desa dan pedalaman yang tersebar sangat banyak di Nusantara, tentulah sangat menarik.