Tali pusat
Sadar pentingnya peran sel punca, orangtua seperti Idan Pohan memilih menyimpan sel punca dari darah tali pusat bayinya di bank darah tali pusat swasta Babybanks. Ketika melahirkan putri semata wayangnya, Nyimas Jezenya Humaira (5), tim dari Babybanks sudah ada di ruang persalinan untuk mengambil darah.
Tujuh tabung berisi darah tali pusat itu kini disimpan di sebuah gedung yang tahan gempa di Taipei. Idan membayar lebih dari Rp 10 juta ketika pertama kali memutuskan menyimpan darah tali pusat. Untuk perpanjangan proses penyimpanan, ia rutin membayar 250 dollar Singapura setiap kali anaknya berulang tahun.
”Sel punca diperlukan untuk perbaikan sel rusak pada penyakit yang masih sulit obatnya. Teknologi berkembang terus, siapa tahu nanti bermanfaat. Mudah-mudahan tidak diperlukan. Jaga-jaga buat anak, setengah coba-coba juga,” kata Idan.
Bank darah tali pusat, menurut Ketua Umum Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia Dr dr Djumhana Atmakusuma, SpPD, sebaiknya dikelola oleh pemerintah, dengan tujuan utama untuk donor sel punca. Transplantasi dengan donor sel punca dari orang lain saat ini masih tergolong mahal dengan biaya sekitar Rp 3,5 miliar di Belanda.
Di beberapa negara, kehadiran bank darah tali pusat swasta masih menjadi isu kontroversi karena kemungkinan pemanfaatan sel punca di usia bayi hanya 0,001 persen. Ketika dewasa, tidak ada jaminan bahwa sel punca yang disimpan sejak bayi itu masih bisa digunakan.
Terkendala fasilitas
Menurut Djumhana, sel punca sangat penting karena bisa berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel khusus, seperti sel darah atau sel otot. Penemu sel punca pluripoten, John B Gurdon (79) dan Shinya Yamanaka (50), juga baru saja menerima penghargaan Nobel Kedokteran.
Sel punca ini bisa dipanen dari sel embrionik yang diambil dari embrio bayi atau dari sel dewasa, seperti sumsum tulang, darah tepi, dan tali pusat bayi baru lahir.
Perlakuan dengan sel punca dibagi menjadi dua, yaitu terapi dan transplantasi. Pada proses terapi, sel punca hanya disuntikkan ke jaringan yang rusak, seperti pada penanganan pasien jantung stadium akhir.
Berbeda dengan terapi sel punca yang saat ini baru memasuki tahapan riset aplikasi di klinik, transplantasi sel punca sudah menjadi standar internasional yang dikembangkan sejak tahun 1960-an. Transplantasi sel punca dikembangkan pertama kali di RSCM tahun 1988.
Tenaga dokter ahli di bidang transplantasi sel punca di Indonesia sudah sangat memadai. Sayangnya, menurut Djumhana, alat-alat yang digunakan untuk transplantasi sel punca sudah tua. Renovasi ruang isolasi bagi pasien transplantasi sel punca di RSCM maupun RS Dharmais juga belum rampung.
Pasien transplantasi sel punca akhirnya dirujuk ke beberapa rumah sakit di Singapura. Perawatan jarak jauh bisa menjadi masalah karena daya tahan tubuh pasien cenderung lemah hingga dua tahun setelah transplantasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.