Wisata laut
Erick mengingatkan, penggunaan terapi hiperbarik tetap harus mengutamakan rambu-rambu tertentu. Untuk menyesuaikan dengan kondisi tubuh, terapi hiperbarik tidak bisa diberikan terus-menerus.
Setelah melakukan lima kali terapi pertama, pasien harus berhenti dua hari sebelum melanjutkan terapi. Pasien harus beristirahat selama seminggu apabila telah menjalani 20 kali terapi ini.
Calon pasien juga diminta melakukan verifikasi kelayakan RUBT sebelum melakukan terapi hiperbarik. Tidak semua dari 28 unit hiperbarik di Indonesia menerapkan standar kelayakan. Secara fisik, bisa dilihat dari keterangan ketebalan baja RUBT, jenis masker, keran saluran oksigen dan udara, hingga kelayakan kerja pembuat RUBT.
”Jika tidak menerapkan standar yang benar, potensi efek merugikan, seperti penyakit dekompresi, keracunan gas, dan trauma, bisa terjadi,” ujarnya.
Ke depan, Erick berharap terapi hiperbarik bisa diterapkan di banyak daerah di Indonesia, khususnya yang memiliki risiko menyebabkan gangguan dekompresi tinggi, seperti daerah wisata bahari atau dihuni masyarakat dengan mata pencarian sebagai penyelam tradisional. Saat ini, beberapa daerah seperti Derawan, Kalimantan Timur, atau Raja Ampat, Papua Barat, sudah meminta rekomendasi pembuatan RUBT.
Ia juga berharap metode ini bisa dilirik perusahaan asuransi. Terapi hiperbarik terbukti menyembuhkan beragam penyakit dalam waktu relatif singkat dengan efek samping minimal. Dengan waktu relatif singkat, biaya pengobatan akan lebih murah.
”Seorang pasien dengan luka bakar hingga 60 persen yang mendapat terapi hiperbarik hanya memerlukan waktu 1,5-2 bulan untuk pulih. Sebelumnya, ia pernah menjalani operasi dan makan beragam obat, tetapi hasilnya tidak memuaskan,” tutur Erick.
Penulis: Cornelius Helmy
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.