KOMPAS.com - Resesi ekonomi tengah melanda hampir seluruh negara di dunia. Hal ini mengakibatkan beberapa negara dalam kondisi sulit, yang berujung pada menurunnya pendapatan masyarakat.
Keadaan ini tak mudah dihadapi. Beberapa orang tidak mampu menghadapinya dan merasa melakukan kegagalan. Perasaan negatif yang terus menghantui mengakibatkan sebagian orang melakukan bunuh diri.
Seperti dipublikasikan Selasa (17/9/2013) oleh the British Medical Journal, ribuan orang di Amerika Serikat dan Eropa bunuh diri karena terkena dampak krisis ekonomi. Jumlah kasus bunuh diri kian meningkat di negara-negara yang warganya kehilangan pekerjaan atau menjadi penganggur karena guncangan krisis ekonomi.
Kondisi yang tengah menjadi tren ini bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. "Bisa saja terjadi, namun kondisinya sangat spesifik dan tidak bisa disamaratakan. Kondisi masyarakat Indonesia dan kedua negara tersebut sangat berbeda," kata psikolog Indri Savitri dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) , Jumat (20/9/2013).
Bunuh diri, kata Indri, adalah ekspresi kemarahan yang mendegradasi diri sendiri. Ekspresi ini, kata Indri, merupakan hasil pertimbangan yang dilakukan secara rasional.
Bunuh diri termanifestasi saat korban merasa sudah tidak ada jalan keluar dari persoalan hidupnya. Kondisi ini diperparah saat korban merasa tak berdaya dan hidupnya tidak lagi berguna. Apalagi bila dalam sehari-hari korban merupakan pribadi menyendiri, tak memiliki ikatan keluarga, dan tidak punya pegangan spiritual.
Kondisi masyarakat Amerika dan Eropa, papar Indri, kontras dengan yang terjadi di Indonesia. "Masyarakat kita umumnya masih punya pegangan spiritual yang baik. Mereka juga memiliki ikatan keluarga yang cukup besar. Walaupun keduanya tidak lantas menjadi jaminan tidak bunuh diri," katanya.
Spritualitas yang dipegang masyarakat Indonesia, umumnya tidak mengajarkan bunuh diri sebagai jalan keluar. Hal ini berbeda dengan Jepang yang mengajarkan harakiri bila merasa gagal. Spritualitas ini juga membantu masyarakat Indonesia menghadapi kegagalan, dan tidak mengambil jalan bunuh diri.
Ikatan dengan keluarga, kata Indri, juga berperan dalam menyediakan support saat mersa jatuh. "Bantuan yang diberikan memang tidak selalu dalam bentuk materi. Rasa nyaman, hangat, didengarkan, diberi motivasi, kadang sudah cukup membuat seseorang bangkit dan membuang alasan untuk bunuh diri," kata Indri.
Pola asuh
Timbulnya tindakan bunuh diri, sedikit banyak berkaitan dengan pola asuh yang diterima saat kecil. Pola asuh yang baik akan membentuk karakter lebih tangguh, mudah beradaptasi, dan bisa menghadapi kegagalan.
"Pola asuh menentukan bagaimana seseorang menghadapi kegagalan dan tekanan ketika dewasa. Anak yang menerima support saat gagal, biasanya lebih mudah menerima kegagalan dan kemudian bangkit," kata Indri.
Karena itu, Indri menyarankan orangtua memberi motivasi daripada memarahi dan menyalahkan anak saat gagal. Indri juga menyarankan orangtua dan anak mengambil nilai positif dari kegagalan yang terjadi, sehigga bisa dijadikan pelajaran. Hal ini membantu anak dan orangtua untuk saling terbuka dan bisa berkomunikasi dengan baik.
Indri juga menyarankan orangtua memperhatikan kondisi sekitar anak. Pada kondisi yang sekiranya menekan, orangtua bisa membantu anak menghadapi kondisi tersebut supaya bisa dijadikan pelajaran ketika dewasa.
"Ada beberapa kasus dimana korban memiliki keluarga yang demokratis dan memberi suport. Namun tekanan yang diterima lingkungan sangat besar, hingga akhirnya memutuskan bunuh diri," kata Indri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.