Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/10/2013, 09:29 WIB
Rosmha Widiyani,
Asep Candra

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Gangguan bipolar rentan diderita para mereka yang berusia lanjut. Statistik menunjukkan, gangguan otak ini diderita satu persen penduduk lanjut usia. Hal ini kemungkinan disebabkan gejala post power syndrome yang menyebabkan para lansia menjadi stres dan depresi.

Penyebab lainnya adalah adanya penyakit lain (komorbid) yang menyertai timbulnya gangguan yang ditandai pergantian mood dengan cepat ini. Penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, dan jantung koroner misalnya, diduga menyebabkan penderita merasa hilang kekuatan, kesulitan menyesuaikan diri, hingga akhirnya depresi.

Psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof.dr. Sasanto Wibisono, Sp.KJ (K)menyatakan, gejala penyakit bipolar sebetulnya dapat dideteksi sejak usia muda.

“Biasanya bila ditanya dengan lebih detail akan ketahuan ada satu episode yang menunjukkan gejala bipolar saat usia muda, seperti kondisi berlebihan (manik) dan hipomanik. Namun gejala tersebut terkadang luput dari perhatian pasien maupun keluarga,” katanya dalam seminar Kendalikan Gangguan Bipolar Sejak Dini memperingati Hari Kesehatan Jiwa Dunia 2013 di Jakarta, Rabu (3/10/2013).

Kendati begitu, hal ini tidak berlaku sama pada semua penderita bipolar. Pada beberapa kasus gejala bipolar muncul pada usia tua.

Menurut Sasanto, mendiagnosa gangguan bipolar pada usia tua tidaklah mudah. Anamnesa ini membutuhkan bantuan dari keluarga terdekat, untuk mengetahui kebiasaan, tingkah laku, dan karakter semasa muda.

Selain proses anamnesa yang tidak sebentar, bipolar pada lansia sering kali tumpang tindih dengan gejala lain.

“Bila tidak cermat kerap disangka sebagai skizofrenia atau depresi unipolar, padahal pengobatan untuk keduanya berbeda dengan bipolar. Sementara bipolar juga tidak bisa dideteksi hanya dari tingkah laku,” kata Sasanto.

Hal ini dikarenakan, pasien kerap dibawa berobat hanya ketika depresi. Sementara saat dalam episode manik atau hipomanik dianggap sebagai hal biasa.

Kondisi semakin sulit bila pasien mengkonsumsi zat jenis benzodiazepine. Penggunaan obat ini, kata Sasanto menyebabkan gejala dan episode bipolar saat manik atau depresi tertutup. Akibatnya, penderita dan keluarga menganggap benzodiazepine sebagai peyembuh, zat yang sama selalu diberikan bila pasien menunjukan gejala manik atau depresi. Bila pada akhirnya pasien dibawa berobat kerap salah diagnosis menjadi pengalahgunaan atau ketergantungan obat (drug abuse).

Lebih lanjut Sasanto menjelaskan bipolar pada lansia berbeda dengan usia muda. Pada usia muda, bipolar didominasi episode manik yang ditandai gembira berlebihan, sangat bersemangat, energik, hingga tidak membutuhkan waktu tidur. Sedangkan bipolar pada lansia lebih berciri disforia (keadaan tidak menyenangkan), mudah tersinggung, lebih banyak depresi, cemas berlebih dan gampang kebingungan.

Bila gejala sudah tingkat lanjut akan ditemukan mixed type, yaitu episode depresi dan manik yang terjadi dalam durasi sangat singkat. Hal ini menimbulkan keinginan bunuh diri mencapai 50 persen. Sasanto menjelaskan dalam statistik dunia 25 persen pasien bipolar lansia melakukan percobaan bunuh diri, dengan tingkat keberhasilan 11-19 persen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau