Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebaran Dokter Tak Merata, Kesejahteraan Sulit Dicapai

Kompas.com - 25/10/2013, 17:03 WIB
Unoviana Kartika

Penulis


KOMPAS.com - Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menilai, sebaran dokter yang tidak merata merupakan salah satu penyebab masyarakat Indonesia belum dapat mencapai taraf hidup yang optimal. Pasalnya dokter memiliki peran dalam kesehatan yang merupakan indikator utama dari kesejahteraan suatu wilayah.

"Ekonomi, pendidikan, dan kesehatan merupakan indikator utama kesejahteraan. Sayangnya kesejahteraan belum dapat merata di semua daerah di Indonesia. Salah satu penyebabnya yaitu dokter yang belum tersebar dengan rata," ucapnya dalam orasinya pada pembukaan acara ulang tahun IDI Ke-63, Kamis (24/10/2013) di Jakarta.

Zaenal memaparkan, jumlah anggota IDI saat ini mencapai 111.574 dokter. Dari jumlah itu, sebanyak 20.942 terpusat di Jakarta. Sementara itu, pada daerah-daerah pelosok masih sulit ditemukan keberadaan dokter.

Menurut Zaenal, sebaran dokter yang tidak merata itu merupakan imbas dari paradigma biomedis yang masih rendah di awal kemerdekaan dulu. Saat itu, kata dia, angka kesakitan dan kematian masih tinggi, prevalensi penyakit menular merata di seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena rendahnya kualitas lingkungan, kurangnya sumber daya manusia kesehatan, terbatasnya sarana kesehatan dan juga pembiayaan kesehatan.

Setelahnya terjadi perbaikan besar-besaran untuk meningkatkan jumlah SDM kesehatan, rumah sakit dan penyedia kesehatan lain seperti puskesmas dan posyandu, serta obat-obatan yang meningkatkan peluang industri farmasi dalam maupun luar negeri. Sayangnya, peningkatkan jumlah tersebut tidak didukung dengan sistem yang baik sehingga kini penambahan kuantitas tersebut terkesan kurang tepat sasaran.

"Meningkatnya jumlah SDM tidak didukung penyebaran yang proporsional, meningkatkan jumlah rumah sakit tidak didukung dengan sistem pelayanan terstruktur, dan peluang farmasi tidak menjadikan obat generik dan obat esensial sebagai primadona pengobatan," kata Zaenal.

Dampaknya, imbuh dia, adalah terjadinya anarkisme dalam pengobatan. SDM kesehatan terpusat pada wilayah yang menguntungkan, rumah sakit menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD), dan obat-obatan menjadi komoditi komersial.

Oleh sebab itu, Zaenal menekankan pada perlunya perubahan paradigma dari yang semula kuratif menjadi promotif-preventif. Artinya, masyarakat tidak lagi hanya berpikir bagaimana cara untuk sembuh, tetapi juga berpikir tentang perlunya menjaga kesehatan untuk mencegah penyakit.

"Sebenarnya paradigma itu sudah mulai dijalankan saat orde baru, hanya saja belum didukung dengan infrastruktur dan oleh para stakeholder," ujarnya.

Dalam kesepatan tersebut, Zaenal juga menyinggung pentingnya tugas pemimpin untuk tidak hanya menjadikan rakyat sehat tapi juga menggerakan dan memfasilitasi masyarakat untuk memiliki kesadaran tinggi menjalani hidup sehat. Menurut dia, seorang pemimpin yang memiliki paradigma kesehatan secara langsung akan mencanangkan program-program pembangunan kesehatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau