Pasien (keluarga) nakal—mau saya bilang kurang ajar, rasanya kok tidak sopan— bukan tidak ada, bahkan banyak sekali. Itu tidak hanya terjadi di kota-kota besar, di kota kabupaten, bisa demikian. Beberapa tahun yang lalu, seorang teman sejawat dokter spesialis yang sama-sama ditempatkan di suatu rumah sakit dengan saya mengalami hal yang sama, bahkan lebih berat lagi, diancam senjata tajam. Saya tidak tahu pasti pokok persoalannya, asal muasalnya.
Tidak hanya teman sejawat saya itu, saya sendiri-pun sebenarnya pernah mengalaminya, digertak dan mau ditampar oleh keluarga pasien. Persoalannya karena saya dianggap terlambat melayani keluaraganya yang baru dirawat. Menurut dia — kabarnya orang ini jago di kota ini, ke mana-mana pisau terselip di pinggangnya— keluarganya yang sakit katanya sesak sekali, dan saya harus datang, tidak cukup hanya dokter jaga. Pada hal waktu pasien baru masuk di UGD, Saya sudah memeriksa pasien. Tidak seperti teman sejawat Saya yang memilih keluar dari Rumah sakit itu dan pindah, Saya sampai sekarang masih tetap di sana. Saya anggap itu perbuatan orang bodoh, dan apalagi dia hanya menggertak dan katanya mau mau menampar. Saya ingat, anjing yang menggongong tidak akan menggigit…..hahahaha, kecuali dia benar-benar menampar…. Hehehehe, kalau begitu, dokter tampaknya perlu belajar beladiri.
Nah, itu baru cerita keluarga pasien, pasien sendiri juga tidak kalah jagoannya. Walau tidak sampai menyiram dengan kopi panas, mengancam dengan pisau, tetapi, marah dengan bermacam ekpresi, membentak, mengamuk, cacimaki, mengobrak abrik ruangan, mau diadukan, dituntut, dan sebagainya yang dialamatkan kepada, baik perawat atau pun dokter sering saya lihat. Kalau mata melotot, muka menyeringai, geram, dan bermacam perasaan tidak senang barangkali sudah menjadi sarapan pagi sehari-hari.
Dan, “kenapa pasien (keluarga) sampai melakukan hal-hal seperti itu?” Seperti kasus yang dialami dokter X di atas? Banyak jawaban yang dapat diberikan oleh pasien atau keluarganya, seribu jawaban mungkin bisa dikemukakannya. Tetapi, banyak juga pasien yang marah dengan alasan yang tidak jelas, alasan yang tidak masuk akal. Sebagai contoh, perawat saya, termasuk saya pernah diamuk pasien dan keluarganya, hanya karena dia, entah keluarga, entah teman, entah pendukung seorang anggota dewan, tidak mau dirawat di klas 3, maunya kelas 1, pada hal dia adalah pengguna kartu jamkesmas.
Lalu, saya juga sering diplototi pasien, terutama bila saya dianggap terlambat datang ke poliklinik. Ya, Saya bisa memahaminya karena pasien lama menunggu, tetapi pasien juga harusnya juga bisa memahami, terlambat ke poliklinik bukan karena baru selesai visite di ruangan, misalnya. Dan, karena pasien hanya melihat secara sepintas, hanya sesaat, tidak mengetahui aktifitas dokter sebelumnya, maka pasien sangat mudah menghakimi seorang dokter. Labelisasi dokter yang malas, tidak ramah, tidak komunikatif, tidak peduli dengan pasien, tidak bertanggungjawab dengan mudah diberikan kepada seorang dokter, walaupun pasien barangkali baru sekali dan pertama kali bertemu dengan sang dokter.
Ok, tulisan ini tidak akan membahas masalah mengapa pasien sampai marah, mengamuk, mengancam, menganiaya, tetapi sepintas saya ingin melihat akibatnya pada hubungan dokter-pasien. Seperti diketahui, hubungan dokter-pasien ini adalah bagian sentral dalam proses pelayanan pengobatan. Outcome yang baik dari tindakan, proses penyembuhan, tidak mungkin diharapkan dari hubungan yang buruk. Apalagi hubungan antara dokter dengan pasien yang dianggap sebagai hubungan kontraktual, unsur kepercayaan itu sangat penting. Kepercayaan yang hilang antara dokter-pasien, karena ancaman, menakuti-nakuti, penganiayaan, atau tidak saling menjaganya, hasilnya adalah tentu outcome yang buruk juga. Seperti pada kasus dokter yang disiram kopi, dipukul di atas. Jangankan mengharapkan penyembuhan yang diinginkan oleh para pihak, hubungan jadi terputus, yang sakit mungkin semakin menderita, dokternya juga demikian, dan bahkan hubungan ini bisa berlanjut di pengadilan.
Jadi, sebagai pembelajaran dari kasus penganiyaan, kekerasan yang dialami sejawat ahli kandungan, dan barangkali masih banyak kasus lain, hanya saja tidak diekspose, baik oleh pasien, keluarganya. Maka, baik dokter, maupun pasien harus saling instrospeksi diri. Mengutip istilah Prof Daldiyono, jadilah dokter yang bijak dan pasien yang cerdas.