Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/05/2014, 16:44 WIB
Kontributor Health, Dhorothea

Penulis


KOMPAS.com - Sepak bola adalah olahraga paling populer di planet bumi. Diperkirakan di Inggris saja sekitar 29 juta orang setiap tahun menonton pertandingan langsung. Itu belum termasuk orang yang secara teratur nonton pertandingan bola di televisi. 

Olahraga ini juga bukan sekadar olahraga. Sepak bola adalah budaya bagi banyak orang di bumi ini. Bukan hanya itu, banyak sendi kehidupan dan bisnis senilai miliaran dollar berputar di sekeliling bola. Pemain bola terkenal punya karisma, kekayaan, dan pengaruh luar biasa seperti bintang film atau bintang rock. Budaya sepak bola ini semakin terasa di negara yang dunia persepakbolaannya maju. Inggris, salah satu contohnya. Mereka bahkan menyebut David dan Victoria Beckham sebagai raja dan ratu Inggris.

Budaya sepak bola itu terasa tak hanya di Inggris. Banyak negara dan daerah yang penduduknya merasa bahagia ketika klub pujaannya menang. Sebaliknya, kekalahan dapat menurunkan spirit mereka. Perekonomian pun jadi lebih bergairah ketika ada musim pertandingan. Dan ketika musim pertandingan selesai, mereka pun jadi seperti orang menderita karena ketagihan.

Rata-rata orang yang gila bola adalah laki-laki. Kaum hawa juga ada yang gila bola, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Mungkin hanya sekitar 14 persen dari seluruh populasi suporter bola.

Tingkah laku penggila bola ini sungguh luar biasa menarik perhatian. Pada setiap pertandingan besar, mereka rela mengecat muka atau tubuhnya serta memakai kostum aneh-aneh. Tidak jarang tingkah mereka ini menyebabkan kerusuhan besar yang memakan korban.

Perilaku penggila bola ini juga diamati oleh para psikolog. Ada keyakinan di antara para psikolog bahwa sepak bola itu memiliki dampak pada kesehatan mental para penggilanya. Sepak bola diperkirakan memiliki dampak pada emosi, relasi, identitas, dan self esteem. Menurut penelitian Sir Norman Chester Centre for Football Research, University of Leicester, di Inggris, satu di antara empat yang menyebut dirinya penggila bola mengatakan bahwa sepak bola adalah satu hal paling penting dalam hidup mereka.

Perburuan modern
Mengapa sepak bola begitu penting? Mengapa pria? Ada pandangan bahwa sepak bola merupakan aktivitas pada abad ke-21 pengganti acara berburu, kegiatan khas kaum Adam sejak zaman prasejarah. Desmond (1978) mengatakan bahwa sepak bola merupakan upaya kompensasi untuk mengisi kevakuman psikologis yang dirasakan para pemburu pada abad ke-21.

Menurut mereka, sepak bola menjadi substitusi untuk acara perburuan yang melibatkan kegiatan fisik hebat dengan risiko dan keriaan luar biasa bagi mereka. Perburuan ini membutuhkan perencanaan dan strategi yang membutuhkan keterampilan dan keberanian. Klimaks perburuan itu adalah momen kemenangan saat piala dalam genggaman pada akhir pertandingan.

Seperti acara perburuan pada zaman prasejarah, bukan hanya adrenalin saja yang terpacu saat menonton sepak bola tim kesayangan, melainkan juga hormon khas lelaki, testosteron. James Dabbs dari Georgia State University, AS, melakukan riset menonton acara olahraga seperti sepak bola yang memiliki dampak pada kadar hormon. Satu penelitian yang dilakukan selama Piala Dunia tahun 1994 di AS menemukan bahwa kadar testosteron naik dan turun sesuai dengan menang atau kalahnya tim yang didukung.

Sampel ludah diambil dari pendukung tim Brasil dan Italia. Setelah tim Brasil menang, kadar hormon testosteron pendukung Brasil naik rata-rata 28 persen, sementara kadar testosteron pendukung Italia turun rata-rata 27 persen. 

Jadi kita pun bisa menaikkan kadar testosteron dengan menonton bola. Namun, pastikan tim jagoan Andalah yang menang.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau