Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/06/2014, 20:48 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis


KOMPAS.com — Jika rencana Pemerintah Kota Surabaya untuk menutup lokalisasi prostitusi Dolly berhasil, maka Surabaya secara resmi tidak lagi memiliki daerah "lampu merah". Padahal, sejarah prostitusi di kota itu hampir setua sejarah peradaban di ibu kota Jawa Timur ini.

Prostitusi di Surabaya tumbuh seiring dengan perkembangan kota itu sebagai kota pelabuhan, pangkalan Angkatan Laut, dan tujuan akhir kereta api.

Saat penjajahan Belanda pada abad ke-19, Surabaya sudah dikenal dengan kegiatan pelacuran. Catatan resmi sejarah Kota Surabaya menyebutkan, tahun 1864 terdapat 228 pelacur di rumah-rumah bordil di kawasan Bandaran di pinggir Pelabuhan Tanjung Perak.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Inang Warsito mengatakan, lokalisasi prostitusi tumbuh karena adanya permintaan.

"Industri pelacuran tidak diinisiasi oleh para PSK, tetapi dua pihak, yakni laki-laki pembeli seks dan mucikari. Karena melihat ada demand yang tinggi, akhirnya muncul perantara atau mucikari yang menyediakan PSK," katanya.

Transaksi seksual sebenarnya adalah transaksi yang tidak manusiawi karena sebagian besar PSK adalah korban perdagangan manusia.

"Dari tempat prostitusi itu hanya dua pihak yang mengambil keuntungan, yakni pembeli seks dan mucikari," lanjutnya.

Inang menjelaskan, sejak zaman penjajahan, kemajuan industri, pelabuhan, pembukaan perkebunan adalah hal yang memicu munculnya tempat-tempat prostitusi. Para laki-laki yang menjadi para pekerja di tempat tersebut tentu butuh penyaluran kebutuhan seksual.

Seperti kompleks prostitusi Dolly yang sudah sangat tua, di Jakarta bisnis birahi ternyata sudah berkembang sejak masa awal Belanda berkuasa pada abad ke-17 dan 18.

Dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim China, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (1988), sejarawan Belanda, Leonard Blusse, mengatakan, rumah-rumah bordil itu biasa didatangi serdadu-serdadu yang ingin berpelesiran dengan perempuan-perempuan penghuninya. Hal ini dilakukan karena serdadu kompeni dilarang membawa perempuan ke dalam barak-barak mereka.

Pelacuran tumbuh subur di Batavia Lama, antara lain karena kurangnya jumlah perempuan Eropa yang boleh dikawini laki-laki Belanda. (KOMPAS/8/6/2009).

Pembeli seks

Para penjaja jasa seks kerap dianggap sebagai penyebar masalah sehingga sebagai bangsa yang bermoral kita menganggap layak untuk memberantas lokalisasi pelacuran.

"Suplainya ditekan terus padahal demand-nya meningkat. Ini terjadi karena superioritas budaya, pihak laki-laki dianggap berhak melakukan apa saja," kata Inang.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional memperkirakan, sampai dengan tahun 2025, kelompok yang paling berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS adalah kelompok laki-laki pembeli seks. Karena itu kini fokus pencegahan adalah pada lelaki berisiko tinggi.

Diperkirakan ada 10 juta laki-laki pembeli seks dan 60 persennya sudah menikah. Mereka adalah laki-laki berusia muda yang bekerja jauh dari rumah. Di luar jam kerja mereka mencari penyaluran seks dan kebanyakan tidak menggunakan kondom.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau