The time to repair the roof is when the sun is shining.
- John F. Kennedy
KOMPAS.com - Menjelang akhir tahun 2014 Bank Dunia mengumumkan penurunan proyeksi pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atas tiga negara yang terjangkit wabah Ebola yaitu Liberia, Sierra Leone, dan Guinea. Laporan ini dikeluarkan setelah Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim mengunjungi Afrika Barat selama dua hari untuk mengkaji dampak virus mematikan tersebut di kawasan.
“Wabah Ebola telah melumpuhkan ekonomi tiga negara tersebut,” demikian laporan yang dirilis Bank Dunia seperti dilaporkan BBC, Selasa (2/12/2014). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, 5,987 orang tewas karena virus Ebola di tiga negara tersebut.
Padahal, di semester pertama tahun ini ketiga negara itu membukukan pertumbuhan yang cepat. Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Liberia diprediksi mencapai 5,9 persen. Pada Oktober proyeksi pertumbuhannya turun menjadi 2,5 persen dan menjadi 2,2 persen pada bulan Desember.
Sierra Leone, sebelum krisis diperkirakan tumbuh 11,3 persen, turun menjadi 8 persen pada Oktober, dan 4 persen di bulan Desember. Sementara, Liberia dari 6,8 persen menjadi 2,4 persen dan 0,5 persen.
Tahun depan, Bank Dunia memprediksi ketiga negara itu akan mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi negatif.
Kesehatan dan pertumbuhan ekonomi
Kesehatan dan pertumbuhan ekonomi memiliki kaitan yang erat. Berbagai kajian menyebutkan, negara-negara dengan kondisi kesehatan yang buruk menghadapi tantangan yang berat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.
Konfereseni WHO di Bangkok, Thailand, pada tahun 2002 menyatakan, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa pada tingkat mikro sangat ditentukan oleh perilaku hidup sehat individual dan keluarga.
Individu yang sehat secara fisik dan mental akan lebih enerjik, produktif, dan memiliki peluang lebih baik untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi. Sementara, pada tingkat makro, masyarakat yang sehat merupakan pondasi yang penting bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang baik.
Itulah kenapa Bank Dunia yang memiliki visi untuk menyejahterakan warga dunia memberi perhatian serius pada persoalan kesehatan masyarakat.
Indonesia memang tidak menghadapi wabah virus mematikan ini. Namun, Indonesia mengalami betapa masalah kesehatan berdampak pada kerugian ekonomi. Masalah kesehatan di Indonesia yang berdampak pada kerugian ekonomi terkait dengan buruknya sanitasi.
Sanitasi di Indonesia
Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2006 Indonesia mencatat kerugian sebesar Rp 56 triliun rupiah atau setara dengan 2,3 persen PDB akibat buruknya sanitasi dan hygiene. Dalam laporan yang bertajuk "Economic Impacts of Sanitation in Indonesia" itu disebutkan, sanitasi yang buruk menyebabkan setidaknya 120 juta peristiwa keterjangkitan penyakit dan 50 ribu kematian.
Kerugian ekonomi itu ditimbulkan karena sanitasi yang buruk menimbulkan biaya untuk kesehatan, akses yang lebih mahal untuk air bersih dan hilangnya pendapatan karena masuk rumah sakit.
Persoalan sanitasi ini tidak sepenuhnya sederhana. Untuk akses sanitasi yang layak, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah Indonesia menargetkan, pada 2019 mendatang seluruh wilayah Indonesia harus memiliki akses air minum dan sanitasi yang layak. Hal tersebut tertuang dalam UU No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025.
"Untuk mencapai target akses universal pada 2019 Indonesia membutuhkan sekitar Rp 274,8 triliun atau sekitar 27 miliar dolar AS untuk pengembangan air minum, sedangkan untuk pengembangan sanitasi layak dibutuhkan Rp 385,3 triliun atau sekitar 39 miliar dolar AS," kata Djoko.
Artinya, Indonesia butuh Rp 660 triliun atau sekitar 40 persen pendapatan Indonesia yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2014. (Baca: Pemerintah Butuh Dana Besar untuk Pengembangan Air Minum dan Sanitasi)
Cuci tangan
Namun, sanitasi tidak melulu menyangkut urusan besar. Sanitasi terkait erat dengan perilaku. Perilaku sehat sederhana yang rupanya menjadi tantangan yang tidak sederhana adalah menyangkut cuci tangah.
Peraturan Meteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat(STBM) menyebutkan, cuci tangan pakai sabun merupakan salah satu pilar sanitasi. Peraturan ini mengelobarasi STBM sebagai pendekatan untuk mengubah perilaku masyarakat menjadi higienis dan saniter.
Soal cuci tangan ini rupanya tidak sederhana di Indonesia. Dokter spesialis anak, Ariani Dewi Widodo, memaparkan, sebuah penelitian menunjukkan, 60 persen masyarakat tidak mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi. Sementara itu, dari 40 persen yang mencuci tangan, hanya 10-15 persen yang menggunakan sabun. (Baca: 60 Persen Masyarakat Tak Cuci Tangan Setelah Pakai Toilet).
Mantan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron, saat peringatan Hari Cuci Tangan 2014 menyebutkan, baru 47 persen masyarakat Indonesia yang membiasakan cuci tangan pakai sabun (CTPS).
"CTPS cara sederhana, mudah, murah, dan bermanfaat mencegah penyakit penyebab kematian, seperti diare dan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yang sering menjadi penyebab kematian anak-anak, juga penyakit hepatitis, typhus, dan flu burung,” ujar Ghufron saat puncak hari Cuci Tangan Pakai Sabun di Senayan Jakarta, Sabtu (18/10/2014).
Menurut Ghufron, belum semua masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan mencuci tangan dengan benar. Ia menjelaskan, perilaku mencuci tangan yang benar adalah mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, ketika tangan kotor setelah memegang uang, binatang, atau berkebun.
Praktik mencuci tangan yang benar juga setelah buang air besar, setelah menceboki bayi atau anak, setelah menggunakan pestisida atau insektisida, dan sebelum menyusui bayi.
Mencuci tangan yang benar
Mencuci tangan tidak sekadar memasukkan tangan ke dalam air. Kasubdit Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar (PASD) Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Eko Saputro mengatakan, mencuci tangan yang benar harus pakai sabun dan air mengalir.
"Mencuci tangan yang benar pakai sabun dan air mengalir. Kalau pakai air kobokan, misalnya waktu mau makan di restoran, ya itu tidak akan menghilangkan kuman yang melekat di tangan," kata Eko.
Ariani menambahkan, teknik mencuci tangan yang benar adalah dengan enam langkah yang disingkat “Tepung Selaci Puput”. Enam langkah tersebut yaitu, telapak tangan dibersihkan dengan sabun, punggung tangan, sela-sela jari hingga kuku, kunci kedua tangan diantara sela-sela jari, lalu putar dengan gerakan tangan kiri ke kanan dan sebaliknya, dan putar untuk membersihkan jari tangan.
Setelah itu, tutup keran dengan siku atau dengan tisu. Untuk membuka gagang pintu kamar mandi pun sebaiknya demikian. (Baca: Jangan Asal Cuci Tangan, Begini Cara yang Benar).
Diare
Ariani mengatakan, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, CTPS telah terbukti menurunkan prevalensi balita yang menderita diare, yaitu dari 9 persen tahun 2007 menjadi 3,5 persen tahun 2013. CTPS juga menurunkan risiko diare hingga 50 persen dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) hingga 45 persen.
Menurut PBB, diare menyebabkan kematian lebih dari 750 ribu anak di bawah usia lima tahun setiap tahun. Di Indonesia, menurut UNICEF, angka kematian anak di bawah usia lima tahun pada 2012 tercatat 152 ribu.
Angka ini menurun jauh dibanding angka kematian 1990 yang mencapai 385 ribu. Namun, meskipun menurun, angka kematian 2012 berarti lebih dari 400 anak-anak di Indonesia meninggal setiap hari.
Cuci tangan adalah cara sederhana mencegah diare. Lebih dari itu, cuci tangan menggunakan sabun adalah cara sederhana membangun Indonesia.
Seperti kata John F. Kennedy di atas, saat yang tepat untuk memperbaiki genting adalah saat matahari bersinar, bukan saat hujan. Saat yang tepat membangun Indonesia adalah ketika masyarakatnya sehat dan produktif, bukan saat mereka sakit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.