Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/02/2015, 18:15 WIB
Dian Maharani

Penulis


DEPOK, KOMPAS.com
 — Kasus penerimaan gratifikasi rentan terjadi di kalangan dokter. Praktik gratifikasi tidak hanya merusak profesionalisme seorang dokter, tetapi juga bisa masuk ke ranah hukum.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ratna Sitompul mengatakan, banyak dokter yang tak sadar dengan penerimaan gratifikasi. Untuk itu, sosialisasi mengenai gratifikasi perlu digalakkan.

"Tidak selamanya gratifikasi disengaja oleh dokternya. Banyak yang enggak tahu, enggak sadar karena dipikirnya itu enggak apa-apa," ujar Ratna dalam diskusi panel Profesionalisme Dokter untuk Mencegah Praktik Gratifikasi di Auditorium Gedung Rumpun Ilmu Kesehatan, Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (24/2/2015).

Ratna menjelaskan, dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 14 Tahun 2014, telah dijabarkan mengenai gratifikasi. Dokter bisa dikatakan menerima gratifikasi jika menerima sesuatu hal yang tidak wajar. Penerimaan itu pun berkaitan dengan jabatannya untuk melakukan sesuatu.

"Kalau saya dapat akomodasi untuk kelas ekonomi, tetapi saya minta kelas bisnis, itu bisa dianggap gratifikasi. Kalau acara dibiayai produsen obat agar dokter akhirnya meresepkan obatnya, itu gratifikasi," ujar Ratna memberikan contoh.

Menurut Ratna, pencegahaan sangat penting dilakukan. Jika dibiarkan, penerimaan gratifikasi bisa menjadi suatu kebiasaan yang salah. Ratna mengatakan, FK UI telah berkomitmen untuk anti-gratifikasi. Demikian pula dengan Ikatan Dokter Indonesia. Ia mengajak agar fakultas kedokteran di universitas lainnya dan rumah sakit untuk berkomitmen anti-gratifikasi.

Dalam kesempatan yang sama, pakar profesionalisme kedokteran, Sjamsuhidayat Ronokusumo, mengaku belum pernah mendengar adanya penindakan kasus gratifikasi di kalangan dokter di Indonesia.

Sanksi yang  dapat diberikan untuk para dokter yang melakukan gratifikasi pun perlu diatur lebih lanjut. Di India, misalnya, jika dokter terbukti melakukan gratifikasi, akan diberikan sanksi berat berupa pencabutan izin praktik selama satu tahun.

Namun, menurut Sjamsuhidayat, yang terpenting saat ini adalah melakukan pencegahan. Ia mengingatkan para dokter untuk berhati-hati dengan segala bentuk penerimaan.

"Lebih baik dicegah daripada sudah terjadi lalu bisa menjadi urusan KPK. Lebih baik berhati-hati," kata Sjamsuhidayat.

Plt pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi menjelaskan, gratifikasi sangat luas bentuknya dan sering terjadi karena diangap suatu kebiasaan yang benar. Johan mencontohkan, pejabat negara menerima parsel pada hari Lebaran bisa termasuk dalam gratifikasi.

"Parsel itu ternyata bentuknya bukan sekadar buah-buahan, makanan. Ada beberapa kasus menerima parsel keramik dari Italia atau jam tangan yang mahal. Cara mudah berpikirnya bahwa ini gratifikasi atau bukan adalah, kalau jabatan saya bukan ini, saya diberikan ini enggak, ya," kata Johan.

 
 
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau