Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/04/2015, 19:10 WIB

KOMPAS.com — Selama ini, jantung dianggap berperan paling penting sebelum kematian. Ini berarti, ketika jantung berhenti berdenyut dan darah berhenti beredar, seluruh bagian tubuh perlahan mati.

Namun, hal tersebut ternyata tidak terbukti dalam penelitian. Para ilmuwan yang meneliti tentang jantung dan aktivitas otak pada tikus yang mati karena kekurangan oksigen menemukan bahwa otak hewan itu mengirimkan sinyal kebingungan ke jantung yang menyebabkan kerusakan organ. Ketika sinyal itu dihambat, jantung bisa bertahan lebih lama.

Jika proses tersebut terjadi pada manusia, besar kemungkinan dokter akan mampu membuat seseorang bertahan hidup setelah jantung mereka berhenti berdenyut akibat serangan jantung. Caranya dengan memotong sinyal tersebut dari otak.

"Biasanya orang lebih fokus ke jantung, mengira bahwa jika jantung bisa diselamatkan, maka otak juga akan selamat. Padahal kita harus memutuskan komunikasi kimia antara otak dan jantung untuk menyelamatkan jantung," kata Jimo Borjigin, ahli saraf dari Michigan Medical School di Ann Arbor.

Setiap tahunnya, lebih dari 400.000 orang di Amerika mengalami serangan jantung, yakni ketika jantung berhenti berdenyut. Bahkan, dengan bantuan medis, hanya 10 persen orang yang bertahan hidup.

Borjigin dalam penelitian ini berusaha mengetahui mengapa jantung orang yang sebelumnya sehat bisa berhenti berfungsi setelah beberapa menit tanpa oksigen.

Ternyata, ketika seseorang yang mengalami serangan jantung kehilangan kesadarannya dan tak ada tanda kehidupan, otak tetap aktif. Menurut studi sebelumnya, tahun 2013, ketika jantung sekarat, otak mengeluarkan banjir sinyal yang diduga untuk menyelamatkan jantung.

Dalam penelitian, para peneliti menciptakan kondisi serangan jantung pada tikus dengan memberi suntikan mematikan atau menghirup karbon dioksida. Lalu, aktivitas hewan yang sekarat itu dipelajari menggunakan electroencephalography (EEG), sementara aktivitas jantung dipantau dengan electrocardiography (ECG).

Pada awalnya, detak jantung tikus perlahan menurun, lalu aktivitas otak menjadi kuat dan sinkron dengan aktivitas jantung. Pada saat itulah terjadi banjir berbagai zat-zat kimia, seperti dopamine dan norepinephirine.

Banjir zat-zat tersebut menjelaskan mengapa orang yang pernah dekat dengan ajalnya kerap mengalami pengalaman "yang sangat nyata".

Sinkronisasi antara aktivitas otak dan jantung ini membuat jantung berhenti memompa darah. Namun, ketika para ahli menghambat aliran zat-zat kimia itu, proses penghentian pompa jantung bisa dihambat. Ini berarti hidup hewan itu bisa diperpanjang sekitar tiga kali lebih lama dibanding jika alirannya tidak dihambat.

Namun, riset ini tentu saja hanya dilakukan pada tikus. Apakah proses yang sama juga terjadi pada manusia? Itu masih jadi pertanyaan besar bagi para ilmuwan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau