Di UHNS ia mendapat perawatan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Namun belum lama dirawat, ia terinfeksi kuman Serattia marcescens yang akhirnya merenggut nyawanya setelah dirawat selama dua minggu.
Jessica adalah salah satu dari dua bayi yang meninggal akibat kuman tersebut. Saat bayi-bayi di ruang NICU menjadi sakit, dokter sempat mengambil contoh darahnya tapi penyebab kematiannya baru diketahui sehari sebelum kematian Jessica.
Hasil pemeriksaan menemukan kuman tersebut menginfeksi bayi-bayi malang itu akibat "kebersihan tangan yang kurang baik". Sebenarnya kuman Serratia marcescnes tidak berbahaya dan hidup di saluran cerna. Meski begitu, kuman ini menyebabkan infeksi serius pada orang yang rentan, misalnya bayi prematur.
Kasus tersebut adalah sedikit dari banyaknya kasus infeksi yang terkait layanan kesehatan atau disebut juga dengan Hospital Acquired Infection (HAI).
Berdasarkan data WHO, secara global 10 persen pasien rawat inap menderita infeksi ini dan menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Di Indonesia, angka HAI mencapai 9,8 persen.
"Rumah sakit memang bukan tempat yang aman, malah bisa membahayakan pasien," kata dr.Adib Abdullah Yahya MARS, Presiden Asian Hospital Federation, dalam acara seminar yang diadakan PT.Unilever Indonesia dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta beberapa waktu lalu.
Adib mengutip hasil penelitian Institute of Medicine AS yang menyebutkan, di tahun 2000 sekitar 98.000 pasien meninggal karena kesalahan dokter atau rumah sakit. "Di negara berkembang angkanya bisa mencapai 2-20 kali lipatnya," katanya.
Penyebab kematian tersebut adalah karena infeksi nosokomial atau infeksi yang didapat pasien setelah masuk ke rumah sakit. Menurut Adib, tak ada satu pun negara yang bisa terbebas dari infeksi ini.
Di rumah sakit, infeksi terkait pelayanan kesehatan dapat menular dengan mudah lewat interaksi langsung mau pun tidak langsung (kontak fisik-udara) antara petugas medis ke pasien, pasien satu kepada pasien lain, mau pun dari pasien kepada pengunjung.
"Dulu infeksi nosokomial dianggap karena faktor lingkungan yang jelek. Tetapi ternyata paling banyak karena tangan dokter. Bahkan ada istilah dokter adalah pembunuh bertangan kosong," ujarnya.
Meski mengkhawatirkan, HAI sebenarnya dapat dicegah secara sederhana, yakni membiasakan mencuci tangan dengan benar. Penelitian teranyar menunjukkan, cuci tangan pakai sabun mampu menghilangkan 92 persen organisme penyebab infeksi di tangan.
Sayangnya, di banyak negara angka kepatuhan tenaga medis untuk mencuci tangan masih rendah. Di banyak negara angka kepatuhan para dokter dalam menjalankan cuci tangan hanya sekitar 50-60 persen.
"Dalam penelitian di ruang ICU RSCM Jakarta angkanya tak jauh berbeda, berkisar 41-62 persen," kata dr.Delly Chipta Lestari SpMK, dalam pemaparan hasil studinya dalam acara yang sama.
Rendahnya tingkat kepatuhan para dokter dalam mencuci tangan juga diakui oleh Dr.Akmal Taher, Sp.U, Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI.
"Di rumah sakit, yang tingkat kepatuhannya paling tinggi memang perawat. Mungkin ini karena dokter cenderung meremehkan. Karena itu masih diperlukan perubahan budaya untuk meningkatkan motivasi," kata Akmal.
Ia menambahkan, mencuci tangan adalah tindakan pencegahan agar tak mudah menularkan kuman ke orang lain. "Hampir 70 persen kasus infeksi bisa dicegah, tapi masalahnya 90 persennya dipengaruhi oleh perilaku," katanya.
Akmal mencontohkan berbagai kasus infeksi yang akhir-akhir ini mengancam, seperti ebola atau MERS, tindakan pencegahannya tetap sama, yakni mencuci tangan.
Untuk meningkatkan jangkauan edukasi kepada para tenaga kesehatan, PT.Unilever Indonesia melalui produk sabun Lifebuoy bekerja sama dengan PERSI dan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) meluncurkan program kampanye "Sehat Ada di Tangan Kita". Selain itu diluncurkan pula buku "Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan Khusus Kebersihan Tangan".
Menurut dr.Sutoto, MARS, Ketua PERSI, buku tersebut akan didistribusikan ke sejumlah rumah sakit di Indonesia. Dalam buku tersebut terdapat pedoman dalam menjalankan Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), SOP terkait kebersihan tangan, dan juga panduan kebersihan tangan.
Dijelaskan pula secara detil dalam buku mengenai lima saat penting untuk membersihkan tangan bagi tenaga kesehatan. Lima saat penting itu adalah sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan tindakan aseptik, setelah terkena cairan tubuh pasien, setelah menyentuh pasien, dan setelah menyentuh benda-benda di sekeliling pasien.
Menurut dr.Grace Cielia, Social and Professional Marketing PT.Unilever, kerjasama tersebut sudah berjalan selama tiga tahun. "Selain membuat buku panduan, kami juga akan meluaskan program ini ke 5 kota di Jawa, yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang" katanya.
Kuman yang terus berevolusi juga membuat Lifebuoy memperbaharui formulanya. "Ada formula baru Lifebouy yang mampu menghilangkan kuman-kuman dengan bahan aktif microshield," ujar Grace.
"Kami menyadari ada keterbatasan infrastruktur bagi berbagai pihak untuk menjalankan kebiasaan cuci tangan pakai sabun dengan baik. Karenanya kami sangat terbuka untuk melakukan kolaborasi dengan berbagai mitra sehingga ke depan angka kejadian infeksi HAI dapat berkurang signifikan," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.