"Tidak setiap individu yang menikah paham hakikat dan tujuan pernikahan. Segala tanggung jawab dan konsekuensi pernikahan belum tentu siap dihadapi," kata peneliti perceraian yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, Asniar Khumas, Rabu (1/7), saat dihubungi dari Jakarta.
Negara seharusnya membekali setiap pasangan yang akan menikah dengan pengetahuan dan keterampilan mengelola keluarga. Selama ini, pengetahuan pengelolaan keluarga hanya diperoleh dari pengalaman keluarga asal. Akibatnya, pasangan suami istri cenderung mengurus keluarga sama seperti orangtuanya.
Padahal, kondisi keluarga asal pasangan belum tentu ideal, apalagi perubahan zaman membuat tuntutan keluarga lebih kompleks. Akibatnya, banyak fungsi keluarga tak berjalan hingga menyulitkan penurunan nilai-nilai positif universal pada anak.
Sejumlah lembaga keagamaan dan perkawinan sudah melakukan konseling pranikah. Namun, lembaga yang dikelola negara seperti Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan Kementerian Agama (Kemenag) umumnya tidak optimal.
Psikolog pendiri situs pranikah.org, Anna Surti Ariani, mengatakan, pernikahan membutuhkan kesiapan diri menghadapi pasangan dan menjadi bagian keluarga besar pasangan. "Kesiapan diri meliputi kesiapan psikologis, medis, finansial, dan hukum," katanya.
Persiapan psikologis terkait penyelesaian masalah diri sendiri dan pasangan di masa lalu yang rentan menimbulkan trauma. Selama trauma masa lalu tak tuntas diatasi, dengan pasangan lama dan keluarga asal, itu berpotensi mengganggu rumah tangga.
Kemampuan menghadapi pasangan seperti kemampuan sosial menyikapi karakter pasangan, berkomunikasi, hingga kepercayaan diri menghadapi pasangan juga perlu disiapkan. Perkawinan adalah penyatuan dua individu berbeda karakter hingga butuh pengenalan mendalam pasangan. Jadi, saat muncul konflik, penghormatan dan penghargaan pasangan terjaga.
Pernikahan di Indonesia juga identik dengan penyatuan dua keluarga besar. Jadi, calon pengantin perlu menyiapkan diri jadi bagian keluarga besar baru dengan kepelikan yang dihadapi.
Perkawinan juga menuntut kemampuan mengelola keuangan, kesiapan menghadapi potensi penularan atau penurunan penyakit tertentu pada pasangan dan anak, serta berbagai masalah hukum sebagai konsekuensi pembentukan keluarga.
Pernikahan dini
Ketidakoptimalan konseling pranikah menimbulkan kerentanan terjadi perceraian, apalagi jika pernikahan terjadi di usia remaja saat kemampuan kognitif, mental emosional, dan psikososial calon pengantin belum matang.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pendidikan Syariah Kemenag Mochtar Ali mengingatkan, pernikahan dini harus dicegah karena tak sesuai dengan tujuan agama melindungi jiwa. "Pernikahan dini membahayakan pelaku karena mengancam kesehatan, ekonomi, dan kebahagiaan," katanya.
Masyarakat terjebak pemikiran bahwa hukum agama tak membatasi usia minimal perkawinan sehingga saat puber dianggap layak menikah. Padahal, batas usia matang pernikahan dalam hukum agama bisa diserap dari nilai yang dianut masyarakat sehingga dapat berubah sesuai zaman. "Usia matang nikah di Indonesia kini sekitar 25 tahun. Di usia itu, mereka biasanya lulus sekolah, bekerja, dan berpikir dewasa," ujarnya.
Kepala Bidang Aliran dan Pelayanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kemenag Kustini mengatakan, pernikahan dini sulit dilacak karena umumnya dilakukan siri atau kawin gantung. Namun, riset Kemenag membuktikan perempuan yang menikah dini tersiksa dan tak bahagia.
"Mayoritas perempuan nikah dini mengira perkawinan bukan untuk seumur hidup, tapi berakhir jika perjanjian antarorangtua pasangan selesai," ujarnya. (DNE/MZW)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.